Nayesha kini sudah berada di rumah mbah nya, ia disuruh duduk dan diam selama beberapa menit. Mbah Yayang, orang tua dari Ghaina, mamanya itu menatapnya dengan tatapan yang ia sulit artikan. Di sebelah mbah Yayang, ada seorang anak perempuan yang berumur 1 tahun di atasnya. Mbak Laras, namanya, dia adalah cucu pertama dari keluarga ibu Nayesha.
Hening, masih saja menguasai ruangan tersebut. Nayesha hanya mampu menundukkan kepalanya, tak berani untuk menatap sang nenek dan kakak sepupunya.
"Panjenengan kuwi begja mboten ilang, napa wonten nyali metu piyambak mubeng Jogja, Nduk." (Kamu itu beruntung tidak hilang, kenapa berani keluar sendiri keliling Jogja.) Kata mbah Yayang membuka suara.
"Panjenengan punika pendatang ing ngriki lan ibu mu nitipaken kamu dhateng mbah, kados pundi menawi kamu kenapa-kenapa? Mbah kedah ngendika punapa dhateng ibu mu, Nduk?" (Kamu itu pendatang di sini dan ibumu menitipkan kamu ke mbah, bagaimana kalau kamu kenapa-kenapa? Mbah harus bilang apa ke ibumu, Nak?) sambungnya.
Nayesha semakin menundukkan kepalanya, selain ia merasa bersalah. Walau sebenarnya ia merasa bingung, apa yang mbah nya ngomong daritadi. Diam-diam ia meringis ketika ia tak paham sama sekali dengan bahasa jawa yang di ucapkan oleh mbahnya itu.
"Mbah ini ngomong apa coba? aku ora ngerti" batin Nayesha.
Mbak Laras di depan sana terlihat seperti menatapnya tajam, ia bisa rasakan walau tak ia lihat dengan jelas. Aduh ini kalau mbah Yayang telah selesai menceramahi nya, ia masih punya kakak sepupu yang akan menceramahinya dengan bahasa yang ia pahami.
Kepala Nayesha hanya mengangguk terus-menerus ketika mbah Yayang memberinya wejangan yang ia sendiri tak tahu, mbahnya ngomong soal apa.
Terdengar sebuah decitan kursi yang bergeser, pertanda mbah Yayang telah bangkit dari duduknya. "Mangga mirengaken menapa ingkang mbah ngendika, yo Nduk. Mbah badhe sare rumiyi." (Tolong dengarkan apa yang mbah katakan, Nak, mbah mau tidur dulu.) ucap mbah Yayang dibantu jalan dengan mbak Laras menuju kamarnya.
Selepas kepergian mbah Yayang, Nayesha menghela napasnya lega. Ia menyandarkan punggungnya lalu mengangkat kakinya naik ke atas kursi. "Untung mbak Laras bantuin mbah Yayang, jadi ada istirahat sedikit gak denger omelan." monolog Nayesha sambil tersenyum.
"Kata sopo kamu iso istirahat gak denger omelan?" Suara mbak Laras yang tiba-tiba terdengar membuat Nayesha terperanjat kaget. "Mbak! jangan ngangetin napa," ucap Nayesha sambil mengelus dadanya.
Mbak Laras terkekeh lalu duduk di kursi yang di tempati oleh mbah Yayang tadi, Nayesha yang melihat itupun mencebikkan bibirnya. "Mbak udah kayak mbah tau, duduk di kursi panas itu buat omelin aku. Apa mbak udah mau jadi mbah-mbah yo" cibirnya.
"Kamu iki, ora ada sopan santune sama mbak." ujar Laras menatap gemas seakan ingin menjitak gadis di depannya. "Tcih! Orang beda 2 tahun aja, udah gila hormat aja kamu mbak." ejek Nayesha dengan bola mata yang ia rotasikan dengan malas.
Laras dengan segera bangun dari duduknya lalu menghampiri Nayesha yang tak jauh darinya, tetapi Nayesha sudah tahu ia akan di pukul dengan cepat gadis itu berlari menuju kamarnya dan mengunci kamarnya.
"Bocah bengi, arep arep kowe. Nanti saiki mriksa, aku bantet kowe!" Pekik Laras kesal lalu meninggalkan kamar gadis tersebut.
Pukul setengah 4 sore, Hima masih berkeliling dengan motor vespa berwarna abu-abu miliknya. Sudah beberapa wilayah ia kunjungin, mencari gadis yang katanya sejak pagi berkeliling tapi belum pulang di siang tadi.
Hima sebenarnya bingung sedikit, kenapa ia mau lakukan ini. Padahal ia juga tidak terlalu mengenal gadis itu, hanya saja memang sempat ia temui di kereta ketika perjalanan pulang kemarin.
"Kemana coba tuh orang, udah mau keliling Jogja nih gue, masih aja gak nemu tanda-tanda dia ada." monolog nya dengan manik mata yang kesana kemari memerhatikan orang-orang sekitar.
Ia berhenti ketika lampu merah, memanfaatkan keadaan dalam berhenti berkendara, manik matanya semakin kesana kemari melihat sekitaran tersebut. Hingga klakson motor di sebelahnya berbunyi membuat Hima refleks balik mengarah asal suara tersebut.
Pengemudi bermotor beat di sebelah nya tersenyum sangat lebar. "Hima!" sapa pengemudi tersebut membuat Hima mengerjapkan matanya berkali- kali. "Raina?" yang dibalas anggukkan semangat oleh pengemudi di sampingnya itu.
Cukup diam beberapa saat, manik matanya memperhatikan dengan lamat gadis di sampingnya itu. Lampu berubah warna hijau, mobil dibelakangnya beberapa kali klakson membuat Hima tersadar lalu segera menyalakan motornya untuk melanjutkan perjalanannya.
Tak jauh dari perempatan tadi, Hima berhenti di salah satu angkringan yang baru saja ingin membuka lapaknya. "Gue gak salah lihat kan tadi? itu Raina beneran?" tanya nya pada diri sendiri lalu turun dari motornya.
Ia melangkah menuju angkringan tersebut lalu duduk ketika kursi telah di sediakan. "Mang, saya numpang duduk dulu ya. Nanti kalau mas udah buka dengan baik terus makananya udah pada selesai masak, saya pesan." ujar Hima yang hanya dibalas dengan jempol.
Hima mengeluarkan ponsel lalu jari-jarinya bergerak mengetik sebuah pesan untuk seseorang, siapa lagi kalau bukan mas Adjie. Setelah mengetikkan pesan tersebut, seseorang menghampirinya.
"Hima!" Suara itu membuat Hima mematung, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Aroma penciuman nya tertusuk dengan aroma stawberry yang khas, yang dulu ia sukai, berasal dari seseorang tersebut membuat semakin jantungnya berdetak lebih cepat lagi.
Kepalanya terangkat, manik mata berwarna hitam itu menatap seorang gadis ber–sweater maroon itu yang kini duduk di sampingnya. "Raina," panggil Hima membuat gadis itu menengok ke arahnya.
"Iya, kenapa?" balas Raina dengan senyuman yang tak luntur sejak ia bertemu dengan Hima di lampu merah dan mengikuti laki-laki itu kesini.
Hima menggelengkan kepalanya lalu mengalihkan pandangannya. "Kamu ngapain disini, Na?" tanyanya membuat Raina mengulumkan bibirnya. "A-aku mau ngomong sama kamu." jawab Raina sedikit terbata-bata.
"Apa?" Hima menatap gadis itu dengan ekspresi wajah yang sangat datar. "Kamu mau bicarain apa lagi sama aku, Na? bukannya kamu sendiri yang bilang waktu itu, kita gak usah saling kenal lagi kan." lanjutnya membuat Raina menunduk, menghindari manik matanya yang tak suka dengan kehadiran gadis itu lagi.
"Maaf, Hima. Aku gak bermaksud seperti itu." cicit Raina yang hampir tak terdengar oleh Hima.
Laki-laki itu menghela nafasnya kasar, ia bangkit dari duduknya. "Mang, saya pergi dulu ya. Kapan- kapan lagi saya mampir," pamitnya lalu meninggalkan angkringan tersebut.
Raina mengangkat kepalanya, manik matanya menatap naas kepergian Hima. Orang yang dulu jadi rumah keduanya telah berubah, telah berbeda setelah kejadian itu. Ia merasa menyesal telah berperilaku dan mengatakan hal yang menyakit kan kepada Hima pada hari itu, membuat laki-laki itu jadi tak ingin menemuinya lagi.
"Neng, arep sate kulit ora? Utawa arep ngopi?" (Neng, mau sate kulit gak? atau mau ngopi?) tanya mang Udin pemilik angkringan tersebut.
Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Enggak, mang. Makasih ya," balasnya sopan lalu melenggang pergi.
"Kebiasaan bocah saiki, nongkrong neng kene nek ora pacaran yo gelut gawe putus." omel mang Udin sambil menggelengkan kepalanya.
Info update and my archieve works in here:
@/12dewpagesSee u, Next chapter
— Tertanda, Dew.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh suka
Teen FictionMasa pahit terakhir di rasakan oleh Hima ketika ia baru saja lulus sekolah hingga memutuskan untuk kabur, meninggalkan kota kelahirannya di Jogja untuk sementara. Beberapa bulan setelahnya, ia kembali pulang ke kota tersebut. Diperjalanan pulangnya...