Masa pahit terakhir di rasakan oleh Hima ketika ia baru saja lulus sekolah hingga memutuskan untuk kabur, meninggalkan kota kelahirannya di Jogja untuk sementara. Beberapa bulan setelahnya, ia kembali pulang ke kota tersebut.
Diperjalanan pulangnya...
Aku akan nge push diri aku buat lanjutin cerita ini sampai ngerasa berada di klimaksnya. Soalnya, aku gak tau bakalan kapan gak on buat lanjutin cerita ini demi kuliah.. So, yeah semoga kalian suka.
I think this chapter it will be long, jadiii bacanya pelan-pelan aja biar gak ketinggalan hint-hint buat pecahin sesuatu yang bikin kalian bertanya-tanya.
So, enjoy reading. Happy reading all
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selamat pagi kota Jogja, Hima bangun dengan semangat yang menggebu. Hari ini adalah harinya bekerja di Warkop Mas Adjie, tempat yang selalu dipenuhi dengan canda tawa dan aroma kopi yang khas.
Udara pagi masih segar, dan matahari baru saja muncul dari ufuk timur, memancarkan sinar lembut yang menghangatkan tubuh. Hima mengenakan jaketnya dan memasang helm. Dengan senyum yang merekah, ia mulai memutar gas motornya dan meluncur di jalan yang masih cukup lengang.
Perjalanan menuju warkop biasanya memakan waktu sekitar 20 menit. Hima menikmati setiap detiknya, melintasi jalan-jalan yang sudah ia hapal di luar kepala. Pagi itu, kota tempat Hima tinggal terasa hidup dengan caranya sendiri—anak-anak kecil berjalan menuju sekolah, ibu-ibu berbelanja di pasar, dan para pedagang kaki lima mulai menata dagangannya.
Hima selalu menyukai perjalanan pagi ini. Bagi Hima, ada sesuatu yang menenangkan dari suara angin yang berbisik di telinga dan pemandangan kota yang mulai sibuk. Sesekali ia melambatkan motornya untuk menyapa beberapa kenalan di jalan. Wajah mereka yang ceria selalu membuat Hima lebih bersemangat.
Saat Hima sampai di warkop, pintu masih terkunci dan tirai masih tertutup rapat. Biasanya, Mas Adjie, pemilik warkop yang selalu ceria dan ramah, sudah membuka warkop sejak pukul tujuh pagi.
"Mas Adjie pundi nggih, kok tumben tenan jam segini dereng wonten?" Hima bermonolog, pandangannya sesekali melihat jam tangan yang ia gunakan.
Hima menunggu beberapa saat di depan warkop, berpikir mungkin Mas Adjie hanya terlambat sedikit. Tetapi waktu terus berlalu, dan Mas Adjie belum juga muncul.
Dia mencoba menghubungi Mas Adjie lewat telepon, tapi tak ada jawaban. Tak ingin terus menunggu tanpa kepastian, Hima memutuskan untuk bertanya kepada tetangga sekitar. Bu Rini yang baru saja keluar dari rumah kecil diseberang sana, membuat Hima beralih ke arah wanita paruh baya itu.
"Nuwun sewu, sugeng enjing Bu. Saya ngaturaken nggih, Mas Adjie pundi nggih? Meniko pundi tindak nopo boten?" tanya Hima sambil mengatur napasnya, lelah akibat ia berlari.
Bu Rini tampak berpikir, "Kula mboten mangertos, Nak. Nanging, kala wingi warkop niku sampun tutup wiwit jam 5 sonten." ujarnya ketika mengingat kejadian kemarin.
Jam 5 sore kemarin Bu Rini pulang dari kantornya, ketika melewati warkop di seberang sana sebelum menuju rumahnya. Manik mata Bu Rini melihat warkop tersebut telah kosong, tertutup. Membuatnya heran, tumben sekali jam 5 sore telah tutup.