Masa pahit terakhir di rasakan oleh Hima ketika ia baru saja lulus sekolah hingga memutuskan untuk kabur, meninggalkan kota kelahirannya di Jogja untuk sementara. Beberapa bulan setelahnya, ia kembali pulang ke kota tersebut.
Diperjalanan pulangnya...
Halo semuanya, selamat datang di chapter ke 9 ini. Di part ini bakalan aku munculin visualisasi seorang Lio, Dirga dan mas Adjie.
So.. baca sampai akhir dan jangan lupa untuk tinggal kan jejak.
Happy reading all.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"ABANGGGG!"
Nayesha melengkingkan suaranya ketika mendapati Lio, abangnya itu dengan sengaja membongkar meja rias hingga beberapa skincare serta peralatan make up nya terjatuh ke lantai.
Sang pelaku lari terbirit-birit mencari tempat sembunyi sambil tertawa mendengar pekik an sang adik. Bu Ghai yang melihat itu menggelengkan kepalanya lalu memijit pelipisnya pelan.
"Tante, gapapa?" tanya mbak Laras yang memperhatikan bu Ghai yang terlihat pusing.
Ghaina tersenyum sembari menggeleng. "Gapapa, nduk." ia meneguk air yang tersedia di depannya, "Maaf ya, kalian harus dengar kericuhan adek kakak itu."
Mbak Laras terkekeh geli menanggapi perkataan bu Ghaina, saudara papanya itu. Semenjak kedatangan Ghaina dan Lio ke Jogja beberapa hari lalu, rumah mbah Yayang semakin ramai rasanya. Mbak Laras atau pun mbah Yayang sendiri gak merasa keberatan dengan kehadiran mereka, justru mereka senang. Rumah ini menjadi ramai.
"Kowe iki ngomongmu kok kaya dudu anak mbah wae, Na. Mbah malah seneng, rumah mbah dadi rame amarga putu-putune mbah lan anak mbah manggon ning kene." Ghaina tersenyum mendengarnya, "Matur nuwun, Buk. Wis tansah nampa Ghaina balik ning nggone Ibu."
Wanita paruh bayah yang berusia 65 tahun itu tersenyum. "Kowe anak Ibu selawase, Na."
Ghaina menunduk. Ia terdiam merasakan hangat ucapan dari ibunya itu. Sudah lama sekali, dari awal pernikahan yang ibunya memang tidak pernah ingin ia menikah dengan laki-laki itu, tapi ia terus menerus memaksa untuk di restui. Ghaina pikir ibunya membenci nya sejak hari itu. Ternyata tidak.
Mbah Yayang selalu menyayangin seperti dulu bahkan ia menerima Lio dan Nayesha menjadi cucunya. Walau kata Nayesha, anak gadisnya itu selalu di kekang oleh mbah Yayang selama sebulan kemarin. Tapi, mbah Yayang benar-benar menjaga anak gadisnya itu dengan baik.
Nayesha datang dengan wajah yang lesu, gadis itu mendudukkan diri nya dekat dengan bu Ghai. Bibirnya mengerucut, tatapannya menatap dengan tajam ke arah abangnya yang keluar dari tempat persembunyian, yaitu dapur.
"Kenapa sayang?" bu Ghai merangkul anak gadisnya itu lalu mengelus kepala gadis itu dengan lembut. "Kok cemberut gitu? bang Lio apain?"
"Aku gak apa apain dia, ma." elak Lio.
Nayesha mencebikkan bibirnya kesal, manik mata hazelnya itu tak lepas dari paras Lio. Tatapannya ia berikan semakin tajam.