OO5

17 5 1
                                    

Halo teman-teman yang sedang membaca cerita ini, aku ingin meminta tolong untuk meninggalkan jejak seperti memberi vote pada tiap halaman yang di baca.

Terima kasih yang telah memberikan vote.

Happy reading all.

Warung kopi milik mas Adjie malam ini rame sekali, suara canda tawa di dalam sana sangat terdengar hingga keluar. Malam ini anggota Lanok sedang mengadakan perkumpulan, katanya merayakan kembalinya sang ketua ke kota Jogja ini.

Hima yang baru saja memakir kan motornya dengan baik itu menggelengkan kepalanya tatkala indra pendengar itu mendengar sorakan dari dalam, laki-laki itu bergegas masuk menemui kawan-kawannya.

Kedatangannya itu makin membuat orang-orang di dalam makin bersorak. "Woo! Ketua kita akhirnya datang juga." Seru laki-laki berkutang putih itu, Naufal namanya.

Beberapa orang bangkit lalu memberi tos kepada Hima sebagai ucapan selamat datang kembali dan telah bergabung sudah 2 tahun lebih menjadi ketua, Laki-laki itu membalas satu persatu tos an teman- temannya lalu segera menghampiri kursi yang kosong tepat di samping mas Adjie.

"Sugeng rawuh Pak Ketua kita, Bapak Sajiwa Himari!" teriak laki-laki berkaos hitam polos itu, Bian. Membuat yang lain lagi lagi bersorak dan bertepuk tangan.

"Udah, woi! dari tadi selamat datang terus. Jangan berisik lah, kasihan orang disebelah entar ke ganggu tidurnya." kata Hima sedikit mengeraskan suaranya untuk di dengar oleh semua orang yang ada disitu.

Mendengar perkataan Hima, keadaan sekarang mulai tenang. Walau ada beberapa orang yang masih bersuara, tapi Hima membiarkannya saja. Selagi tak seberisik tadi, ia tak akan menegur teman-temannya. Hima mengambil sebatang rokok yang berada di atas meja membuat mas Adjie menatapnya dengan satu alis yang terangkat.

Seakan paham tatapan dari mas Adjie, Hima menggelengkan kepalanya. "Gapapa, mas. Habis ketemu tadi sama Raina," ucapnya lesu.

"Ngopo kok iso ketemu? Ngobrol maneh kowe karo wong wadon iku?" Hima hanya menganggukkan kepala nya lemah. "Yo kuwi bodho kowe iku, ngopo gelem diajak ngomong karo dheweke." ucap mas Adjie yang di setujui oleh Dirga.

"Diajak ngomong apa kowe karo Raina-Raina iku?" tanya Dirga ikut penasaran. "Diajak rabi aku karo dheweke ing Jakarta." jawab Hima ngawur membuat Dirga dan mas Adjie yang mendengarnya membelalakkan matanya.

"Sing bener kowe, aja guyon ngono." Hima menghembuskan asap nikotin tersebut lalu terkekeh, "Kowe kabeh iki seriusan banget dadi manungsa." katanya membuat mas Adjie menyentil dahi Hima.

Hima mengusap dahinya, "Lara, mas. Ojo asal nyentil wae." ucapnya membuat Dirga tertawa. "Ngono kowe golek masalah sih, Him. Laran endi yo, disenthil Mas Adjie apa ditinggal pas lagi sayang-sayange." ujar Dirga mengundang tawa mas Adjie.

"Asu tenan kowe Dir, males aku jadine." Hima mendelik lalu mematikan puntung rokoknya.

Laki-laki itu beranjak dari duduknya, ia melangkah menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang di serang kantuk. Sedari tadi ketika ia mengobrol dengan mas Adjie dan Dirga, seseorang yang tak berada jauh dari tempat duduk ketiganya, mendengar jelas apa yang sedang mereka omong kan. Hima sadar akan hal itu, karena ekor matanya selalu menangkap seseorang itu tengah menatap ke arahnya tajam dan sedang menguping. Tetapi ia tak ingin membuang waktu untuk meladeni hal-hal seperti itu.

Jatuh sukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang