Masa pahit terakhir di rasakan oleh Hima ketika ia baru saja lulus sekolah hingga memutuskan untuk kabur, meninggalkan kota kelahirannya di Jogja untuk sementara. Beberapa bulan setelahnya, ia kembali pulang ke kota tersebut.
Diperjalanan pulangnya...
Hai! Aku gatau ini akan jadi part yang terpanjang atau enggak, jadi bacanya pelan-pelan aja biar gak hah hoh di part selanjutnya.
Happy reading all!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langit Jogja siang ini lumayan terik, namun suhu di kota ini tidak sepanas yang di perkirakan oleh peramal cuaca atau siapapun. Tapi tetap saja, walau suhunya tak sepanas yang di pikirkan oleh orang-orang. Matahari kali ini sangat terik dan lumayan silau, jika kalian berani menatapnya.
Laki-laki dengan celana pendek selutut dan kaos oblong berwarna p utih itu berkeliling dengan motor vespa kebanggaannya di siang hari ini, gayanya seperti tak takut pada teriknya matahari.
"Kemana yah enaknya, bingung gue." Monolognya ketika ia berhenti sejenak di lampu merah.
Manik matanya tak berhenti kesana kemari, melihat sisi jalan beberapa orang berjalan kaki. Tanpa sadar bilah bibir miliknya terangkat, ia tersenyum. Ia tersadar bahwa diri nya sudah dua bulan berada di kota kelahirannya ini, ia berhasil sembuhin patah hatinya sehingga tak mengingat gadis itu lagi.
Yah, walau masih penasaran saja siapa pria yang telah membuat makhluk kecil tak bersalah itu untuk lahir dari rahim gadis itu.
Hima segera menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran yang menurutnya tidak seharusnya lagi ia pikirkan. Lampu berubah warna merah, ia segera melajukan motor vespa tersebut dengan kecepatan yang tinggi.
Nalurinya membawa motor itu menuju rumah keduanya, tak lain ialah warkop mas Adjie. Ia benar-benar bersyukur mengenal seseorang seperti mas Adjie, walau terkadang orang tua itu menyebal kan. Tetapi, Hima akan selalu menjadi warkop mas Adjie sebagai rumah kedua.
"Selamat Pagi, mamas!" Seru Hima ketika memakirkan motornya.
Mas Adjie yang sedang menyapu hanya mampu menghela nafas pelan, tanpa ia lihat sosok siapa yang datang siang hari seperti ini. Dari suaranya ia sudah hafal sekali, siapa lagi kalau bukan si pengangguran, Sajiwa Himari.
"Esuk-esuk, iki wis awan blo'on." seloroh mas Adjie ketika Hima menghampirinya.
Hima terkekeh, ia mengangkat bahu nya acuh. Yah, menurutnya ini masih pagi. Walau matahari sangat terik dan memang jarum jam sudah menunjuk kan pukul setengah satu siang, tetap saja menurut Hima masih pagi.
"Mas, es kopi susu siji karo pisang goreng yo." Hima menatap mas Adjie sambil memamerkan deretan giginya. "Mbayar ora kowe?" tanya mas Adjie yang dibalas anggukkan.
"Ora usah wedi, mas, tak tanggung utange." Mas Adjie memutar bola matanya dengan malas, "Ra ngutang nanging ujug-ujug mlayu nganggep kuwi gratis. Bocah setan."
Hima tergelak mendengar semburan mas Adjie, perkataan orang tua itu ada benarnya. Selama ia balik kesini, mas Adjie selalu menyajikan makanan atau minuman untuknya, tetapi tak pernah ia bayar.