Jangan Sampai Tertinggal

14 3 0
                                    

Nihil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Nihil. Perjalanan kami berakhir di malam hari. Berjam-jam melangkah melewati banyak rintangan, namun tetap saja tidak ada hasil. Sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan. Dedaunan di atas pohon semakin lebat kulihat. Gelap gulita.

  “Ah, aku sudah lelah.” Devano menghentikan langkahnya. Duduk termenung bersandar di tumpukan batang pohon yang ambruk. Dirinya tertunduk, merenungi sesuatu dengan badan lemasnya.

Jujur, aku juga sudah lelah. Mencari jalan yang tak kunjung berakhir. Apalagi kami sudah melewati dua malam di tengah hutan. Badanku lemas dan lelah, semuanya terasa sakit. Aku tak tahu harus bagaimana lagi supaya keluar dari sini.

  “Kalian tak apa? Atau ada yang sakit? Maaf, tapi sepertinya kita harus bermalam di sini lagi,” ucap Alvian gelisah. Ia terus-terusan memainkan jarinya, hingga tak sadar kulitnya hampir terkelupas.

Malang nasib kami. Ini bukan pertanda yang baik. Keadaan semakin sulit sebab kami juga belum meminum air sedari kemarin. Aku takut teman-temanku jatuh sakit. Sekarang, kami meratapi nasib.

  “Bagaimana ini? Aku tidak bisa berada di sini dalam beberapa hari. Aku takut kalau nanti mati di sini…” Hani tampak frustasi, ia berjongkok di sampingku, menunduk di atas lipatan tangannya.

  “Jangan bilang begitu… Kita di sini bertujuh, kita harus kembali bertujuh.” Rhea merangkul pundak Hani, gadis itu terdengar menangis di balik lengan bajunya.

  “Kami minta maaf karena sudah buat kalian harus lelah berjalan…” Mahardika menghela napas lalu jatuh terhenyak ke tanah.

Bukannya menemukan tempat yang lebih baik, tetap saja berada di lingkungan menyeramkan ini. Sama sekali tak menemukan jalan keluar. Bahkan bahan makanan saja kami kesulitan mencari yang pantas dimakan.

Semua terlihat frustasi. Wajah-wajah kecewa mereka terlihat, menggores hatiku yang lemah. Apa yang harus aku lakukan supaya kondisi bisa seperti semula? Senyuman lenyap, bagai terbang terbawa angin.

  “Tidak, jangan minta maaf. Kita di sini semua berjuang. Usaha kita tidak sia-sia. Hanya butuh waktu,” ucapku berusaha untuk menenangkan, “aku kan sudah janji. Kita pasti bisa pulang.”

Senyap. Masih dengan perasaan kecewa, enam manusia di hadapanku terus-terusan mengutuk dirinya sendiri. Isak tangis Hani perih terdengar ke dalam telingaku, ditemani Rhea yang terus menenangkannya.

Udara malam ini tak hanya menggores kulitku, namun juga melukai jiwaku. Setebal apapun pakaian yang aku pakai, takkan bisa memberikanku kehangatan. Kacau sekali. Bukan ini yang aku inginkan.

Kami memang menghabiskan banyak waktu sebelum hari kelulusan, tapi bukan ini yang kumaksud. Semangat itu pupus. Bukannya semakin membara, ternyata api itu padam seketika.

Namun, aku tahu. Mereka hanya lelah. Ini bukan akhir dari segalanya. Mau tak mau, dalam waktu satu minggu kami harus bertahan hidup. Mati dalam keadaan berjuang lebih baik daripada mati karena menyerah.

AYO PULANG! [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang