Tinggal Kami

9 3 0
                                    

Bau obat-obatan menyengat, menusuk hidung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bau obat-obatan menyengat, menusuk hidung. Berlalu lalangnya orang-orang, mencari kesembuhan. Wajah-wajah penantian. Duduk menunduk. Menunggu kabar baik. Tak terhitung berapa air mata menetes. Tak berhenti memohon, tak berhenti berdo’a. Tidak boleh lagi merasa kehilangan. Aku sudah muak dengan perpisahan.

Badanku lemas, duduk di atas kursi tunggu rumah sakit. Menanti kabar baik dari dalam ruang operasi. Jantungku berdetak cukup kencang. Cukup gugup. Kepalaku memang penuh oleh kata-kata dari beberapa orang di sana, namun hatiku terasa kosong. Aku linglung dan bingung.

Mataku sembab. Melirik ke arah pintu yang kutunggu terbuka. Kapan mereka akan mengatakan bahwa dia baik-baik saja? Kapan aku akan menerima kabar baik? Selagi polisi datang kemari untuk melucut beberapa pertanyaan, kapan mereka akan keluar?

Kulihat mobil putih dengan lampu biru dan merah dari kejauhan. Pertanda bahwa kejadian itu akan kembali terucap melalui mulutku. Rasa sesak itu akan terulang kembali. Bayang-bayang beberapa anak itu akan kembali. Bagaimana aku bisa melewati itu semua?

Amburadul. Tak seharusnya aku mendengar berita itu.
Perasaanku tadi. Aku memang masih di sini. Tapi perasaanku berbeda. Kacau balau. Sesak sekali. Mau obat-obatan itu masih tercium jelas. Kudengar percakapan beberapa pasien denga keluarganya. Kudengar percakapan dokter. Itu membuatku frustasi.

Aku terus menyalahkan diriku sendiri. Mengapa aku tak bisa jadi sahabat yang baik? Mengapa aku tidak bisa melindungi mereka? Mengapa aku jadi ketua kelas yang buruk? Bagaimana jika bayangan mereka terus menghantuiku sepanjang hidup?

Kuperhatikan beberapa pria berbadan besar, berbicara dengan dokter bedah yang baru saja keluar. Mereka belum menginterogasiku. Mereka memahami perasaanku. Mulutku tidak kuasa bicara. Apalagi bila kupandang teman lelaki itu. Berjongkok di pojok ruangan, belum bisa menerima kenyataan.

Diriku menatap kosong dinding di depan. Kepalaku terasa penuh. Ingatan-ingatan itu tak bisa meluap. Terus menghantui. Hijaunya hutan. Gelapnya hutan. Derasnya arus sungai. Nenek gila itu. Semua itu. Menelan sebuah kebahagiaan.

  “Anak itu kehilangan banyak darah. Mungkin pisau itu juga terkena banyak bakteri dan berkarat. Jadi kami tidak bisa menyelamatkannya.”

Salah seorang polisi menghela napas pelan. Tahu betul betapa tersiksanya hatiku. Betapa beratnya sebagai seorang teman menerima berita ini. Dia melihatku. Iba. Dia melangkah menghampiriku. Lalu berkata dengan lembut.

  “Kamu pasti lelah. Istirahat dulu saja. Nanti temui aku jika kamu sudah baikan.” Begitulah katanya, “kepolisian juga akan mencari teman-temanmu.”

  “Jika Anda menemukan teman-temanku. Tolong, beritahu aku secepatnya…” sahutku lirih. Dia mengangguk sambil menepuk pundakku. Kemudian, dia pergi.

AYO PULANG! [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang