Tidak Boleh Hilang Lagi

9 3 0
                                    

Pagi-pagi sekali, aku terbangun dari mimpi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi-pagi sekali, aku terbangun dari mimpi. Aku tak tahu, sejak kapan bisa tertidur di sini. Duduk termenung di atas tanah kering. Berusaha memahami apa yang telah terjadi. Malam itu, jiwaku seakan terangkat hingga ragaku lemah tak berdaya.

Sorot mataku memandang langit hitam legam, tertutup awan mendung. Tepat di bawah pohon, sosok lelaki menaruh perhatian. Bersandar, meratapi nasib tiada henti.

Awalnya, aku tertegun, siapa orang itu. Namun setelah insan berbadan tinggi itu menatapku, aku hanya bergumam lega. Devano ternyata. Tak lama, kesadaranku kembali sepenuhnya. Kepalaku berusaha mengingat.

  “Mahardika dan Mahawira benar-benar pergi…” begitulah ucapnya ketika melihatku. Diriku ini tersentak. Benar. Kedua manusia kembar seiras itu sudah memisahkan diri. Hilang.

Pantas saja hatiku terasa kacau sekarang. Seperti awan mendung yang menutup kebahagiaan. Terlihat sekali, wajah penyesalan Devano. Merasa gagal menjadi teman yang melindungi. Aku pun merasa demikian.

  “Sudahlah, kita do’akan saja mereka bisa kembali.”

Diam sejenak. Devano tertunduk mendengar kalimatku. Ia menatap teman kami yang masih terlelap, kelelahan. Lantas tertawa miris.

  “Kadang aku berpikir betapa bodohnya kita. Hanya memikirkan kebersamaan yang ternyata membawa kesialan,” ujar Devano menatap dalam mataku, “apa kita akan berpisah dengan cara seperti ini?”

Aku tak tahu harus menjawab apa. Benar juga. Aku terobsesi dengan persahabatan ini, dan tak memedulikan apa yang sedang terjadi di luar itu. Sekarang, aku terjebak dalam perasaan tak karuan. Pikirku jadi berlebihan.

  “Tutup mulutmu, Devano.” Suara dari samping badanku terasa menggetarkan raga. Rhea memegang pundakku dan bangun dari baringnya.

  “Pikiranmu terlalu jauh. Kesialan itu malah membuat kita semakin dekat,” lanjutnya, “kau hanya terlalu merasa bersalah karena hilangnya Mahardika dan Mahawira hilang. Kita di sini bertahan hidup. Bersyukurlah kau masih hidup dengan baik sekarang.”

Sunyi. Devano kembali merenungi perkataannya. Dirinya sedang kalut. Kini, kami kehilangan arah. Tak ada lagi api berkobar di dada kami. Air mata penyesalan memadamkan semangat.
Rasa letih ini membawa jiwa pergi. Tidak dapat melakukan apa-apa. Semangat kami mencari jalan pulang terhapus sudah. Keadaan semakin memburuk.

Kutatap wajah-wajah kusam di bawah sinar mentari yang mulai menampakkan diri. Kukira air hujan akan menghapus harapan sepenuhnya. Nyatanya, sinar kepercayaan bisa jadi jawabannya.

  “Mendungnya sudah hilang. Sekarang, mendung itu di hati kalian,” celetuk Alvian yang entah kapan ia bangun dari tidurnya, “omong-omong, aku lapar. Ayo cari makan.”

Devano menatap sahabat laki-lakinya, menghela napas. Lantas, ia berdiri. Memandangi satu per satu dari kami. Niatnya untuk menjawab kalimat Alvian.

  “Ayo, cari makan saja,” ucapnya, “bangunkan Hani, lalu kita cari makan. Dari kemarin bukannya menemukan sungai, malah hal sial.”

AYO PULANG! [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang