Pertanda Baik

7 3 0
                                    

Jujur, aku lupa ini hari ke berapa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jujur, aku lupa ini hari ke berapa. Angin yang dingin sekarang tak lagi terasa. Api yang menyala begitu terang di tengah kegelapan malam. Selepas mengunyah singkong, tak lagi rasa lapar mengganjal. Hangat rasanya.

Sejak tadi sore, kami memutuskan istirahat. Tak ada aktivitas yang bisa dilakukan. Sedari tadi, kami diam memandang alam sekitar. Sepatah kata pun tak terucap. Harapan kami sekarang adalah diselamatkan.

  “Apa kita perlu berjalan pulang lagi besok?” tanya Alvian menyeletuk di tengah kesunyian. Pandangannya hanya mengarah pada sinar rembulan, dirinya seperti tidak yakin.

  “Menunggu mereka datang,” timpal Devano. Itulah satu-satunya jawaban yang mungkin bisa ia katakan. Dirinya selalu terlihat pasrah semenjak datang dan tersesat di sini. Bukan seperti Devano yang aku kenal.

  “Kita di sini saja sampai besok pagi,” ucapku, “nanti kita lanjutkan lagi perjalanannya.”

  “Tapi, di sini kita punya air untuk diminum. Kalau kita pergi, penemuan ini juga hilang.” Hani menyahut tak terima kenyataan bahwa ia harus meninggalkan tempat ini.

Aku hendak menimpal, namun entah mengapa suaraku seperti tertahan di tenggorokan. Terkadang aku berpikir pernyataan mereka benar, tapi tidak dengan berpasrah seperti ini. Di pikiranku sekarang hanya terukir kalimat, mengapa mereka gampang bertindak tapi juga gampang menyerah dalam waktu yang singkat?

Miris sekali. Terjebak dalam hutan bukan berarti waktu kami akan berakhir. Aku yakin, sangat yakin bahwa kami akan kembali bersama-sama dalam sebuah kenangan indah. Mungkin suatu hari nanti, kami bisa bertemu lagi dengan si kembar.

  “Jujur, aku lelah sekarang.” Devano tiba-tiba membuyarkan isi kepalaku, “berkali-kali kita mencoba keluar dari sini, tapi tidak ada satu pun jalan yang tepat.”

Kami merenungi beberapa kata yang keluar dari mulutnya. Menandakan kami setuju, tidak ada yang menyangkal. Alunan angin malam, menemani suasana menyedihkan ini.

  “Sampai sekarang, aku diselimuti rasa penyesalan. Mahardika dan Mahawira,” lanjut Devano sedikit menjeda kalimatnya, “entah mereka selamat atau tidak. Aku hanya berharap mereka kembali lebih dulu daripada aku.”

  “Itu bukan sepenuhnya salahmu kok. Mungkin memangnya takdirnya begitu…” sahutku lirih. Sebenarnya aku juga merasa bersalah karena waktu itu akulah penyebab dari perpisahan.

Sejenak aku tenggelam dalam haluanku. Membayangkan perpisahan yang sebenarnya. Dimana kawan-kawanku ini saling berpencar, menuju jalannya masing-masing. Hingga aku tersadar kembali bahwa karena inilah kami berlima bisa merapatkan isi hati, mengisi sebuah lembaran yang tak pernah kami sangka.

  “Hutan ini terlalu lebat kah? Wujud kita saja tidak bisa dilihat, belum ada yang menghampiri,” ucap Rhea yang sedari tadi diam dalam skenario miliknya. Matanya mengarah pada rembulan yang hampir tak terlihat di atas sana. Seakan menatap rindu ketenangan hidup.

AYO PULANG! [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang