Aliran Ketenangan

11 3 0
                                    

Berpindah lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berpindah lagi. Di situasi ini aku merasa seperti berada di jaman prasejarah, manusia purba nomaden. Berjalan kesana-kemari, mencari tempat tinggal yang lebih aman. Sembari belajar sejarah sebenarnya, tapi tidak sampai menjiwai seperti ini juga. Huft.

Baik, kembali pada perjalanan pagi. Mentari menemani setiap langkah di atas tanah lembab dengan gemerisik suara daun-daun kering. Berjalan tanpa arah yang jelas, bertujuan mencari sumber kehidupan lain.

Tak lama, kulihat di atas sana cuaca sedikit mendung. Di momen ini aku hanya berharap supaya tidak turun hujan. Kami tak ada tempat berlindung, mau kemana kami bila hujan mengguyur Bumi?

Diriku ini melangkahkan kaki di antara kaki-kaki lainnya. Tepat di tengah barisan kuberjalan bersama Hani. Di depan ada Devano dan di paling belakang ada Rhea dan Alvian. Kalau boleh jujur, sejoli di belakangku cukup dekat akhir-akhir ini. Jadi aku tidak akan mengusik suasana mereka.

Sudah dua hari dua malam, menahan rasa perih di lutut. Sakitnya tidak kunjung hilang, malah semakin parah. Berjalan seperti ini saja cukup membuatku kewalahan. Tapi apa boleh buat, memang seharusnya begini.
Sedari tadi kesunyian mendengung di telingaku. Suasana macam apa ini? Yang kudengar hanya suara langkah kaki, dedaunan dan semak. Hei. Aku tak mengerti mengapa ini harus terjadi. Biasanya manusia-manusia ini ramai menghias kesunyian.

Tak lama, setetes air menimpa kulit pipiku. Kuhadapkan telapak tangan ke atas, terasa rintik-rintik hujan menerpa. Untung saja belum terlalu deras, jadi kami tak perlu berlarian mencari tempat berteduh.

Kami berdiri di bawah payung daun-daun yang menempel pada ranting pohon. Menatap tetes demi tetes air hujan yang turun. Hanya menunggu hujan reda daripada pakaian basah.

  “Ah, sial. Kenapa harus turun hujan?” ucap Alvian memeluk tanaman singkong yang ia bawa. Lantas kami semua menengok dengan wajah kesal.

  “Sudahlah diam saja. Ini pemberian Tuhan,” jawab Devano malas.

  “Biasanya kita main hujan-hujanan kalau begini sepulang sekolah? Pulangnya dimarahi, tapi menyenangkan,” ujarku tiba-tiba.

  “Hahaha, iya benar juga. Tapi kalau sekarang kita hujan-hujanan pasti nanti kedinginan. Huft, aku rindu itu…” sahut Hani membayangkan memori itu.

Di tengah rintik-rintik hujan, kenangan dahulu muncul di dalam kepala. Merindukan momen kebersamaan penuh bahagia. Pikirku, kapan kami akan merasakan momen itu lagi? Sekarang, kami terjebak dalam kegelapan, tak dapat keluar.

Cukup lama menunggu. Hujan pun berhenti setelah 30 menit kami bergelut dengan segala cerita. Kutadahkan lagi tanganku ke arah langit, tak ada lagi air yang menetes. Alvian memberanikan diri untuk melangkah keluar dari tempat berteduh.

  “Ayo, hujannya sudah reda.” Alvian segera mengajak kami untuk terus melangkah mencari tempat baru.

Tanpa basa-basi kami mengikuti langkah Alvian. Jujur, kami tak tahu akan kemana. Hilang tanpa arah dan hanya mengikuti jalan yang ada. Udara sejuk sesudah hujan, membuat kedua telapak tanganku berusaha mengelus badan.

AYO PULANG! [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang