Mungkinkah Kami Pulang?

14 3 0
                                    

Malam gelap penuh bintang berlalu, berganti mentari yang datang dari timur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Malam gelap penuh bintang berlalu, berganti mentari yang datang dari timur. Benda putih kekuningan itu malu-malu menunjukkan pesonanya. Sinar terang berupaya membangunkanku dari tidur yang lelap.

Mataku perlahan terbuka. Merasakan elusan udara pagi yang sejuk, lamat-lamat sepasang bola mataku menatap langit-langit tenda. Tubuh lemas ini masih terbaring, sejenak menguap sembari mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam sana.

Setengah badanku terangkat, memandangi keempat temanku. Mereka masih terlelap. Sebenarnya aku tak mau membangunkan. Tapi setelah kepalaku melongok, melihat keluar, anak-anak lain sudah sibuk membersihkan diri.

Mataku melirik ke arah jam yang ada di tangan Devano. Sudah pukul tujuh. Langsung kusibakkan selimut, bergerak membangunkan mereka. Kedua tanganku sibuk menggoyang-goyangkan badan kawan-kawanku. Suaraku sedikit memekik pula supaya mereka cepat bangun.

Aku pun keluar dari tenda, mencari bambu tempat air mengalir. Berjalan menujunya. Kutadahkan air ke atas telapak tangan yang telungkup, kemudian membasuh wajah. Rasanya segar, seperti terlahir kembali.
Kumelangkah kembali menuju tenda, hingga sesuatu mengalihkan perhatianku. Di sana. Jauh di sana. Kudapat melihat betapa gelapnya hutan. Lalu apakah kami berani jika berjelajah ke dalam sana? Aku tidak yakin.

Perhatianku teralih lagi ketika melihat Alvian berjalan melewatiku dengan mata setengah tertutup. Diikuti oleh Rhea, Hani dan Devano. Lucu sekali. Mereka seperti anak bebek yang mengikuti induknya.

Tepat setelah itu, aku tersadar harus segera merapikan tenda dan menyiapkan sarapan. Bergegas kulipat selimut dan rapikan tas-tas di dalam tenda. Setelah itu, aku mengeluarkan bahan untuk sarapan. Kami masih punya waktu banyak, jadi aku memilih untuk menanak nasi dan menggoreng telur.

Tak lama, Rhea datang dan selalu menawarkan bantuan. Dia meminta yang lain untuk membereskan barang dan mengeluarkannya dari tenda untuk dibawa ke dalam bus. Ini karena setelah ini kami akan berjelajah sebentar sebelum pulang. Kemudian mereka semua berkumpul melingkari, mendapat jatah makan pagi ini.

  “Karena sebentar lagi acara kelulusan, sepertinya kita pergi ke tempat impianmu itu kan?” celetuk Hani dengan mulut penuh makanan. Pandangannya mengarah padaku, apa dia menanyaiku?

Sepertinya aku familiar dengan ‘tempat impian’ yang Hani maksud. Tapi entah mengapa otakku tak mau berjalan. Aku sama sekali tak mengingat. Bahkan Devano, Alvian dan Rhea pun tampak penasaran dengan maksud Hani.

  “Maksudmu?” tanyaku dengan dahi mengkerut.

  “Studio foto.” Jawaban yang membuat pemirsa sungguh kecewa. Devano yang tadinya terus memperhatikan Hani pun melanjutkan makannya. Begitu pula Rhea, dia memutar bola mata malas.

  “Aku kira apa tadi. Dasar aneh. Tempat impian macam apa itu?” omel Alvian rela meletakkan piringnya dan menatapku kesal, “argh, ini membuatku kesal saja!”

AYO PULANG! [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang