Dua Insan Telah Sirna

13 3 0
                                    

Tak lagi kuhitung hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak lagi kuhitung hari. Kelopak mata terbuka, disambut mentari pagi. Suara deras aliran sungai menusuk telinga. Sorot mata memandang hijaunya dedaunan pohon. Menghirup udara pagi penuh damai. Hembusan angin meniup helai rambut.

Jauh di depan sana, Hani dan Devano berdiri di tengah aliran sungai, tepatnya di atas batu besar. Entah apa yang mereka lakukan, tampak sekali mereka bersenang-senang sembari mencipratkan air satu sama lain.

Jadi teringat pembicaraan kami tadi malam. Dimana puluhan cerita keluar dari masing-masing mulut, menjelaskan isi hati. Usai merasa puas mendapat bahan makan, senyuman mereka menyinari malam. Kalimat-kalimat lucu keluar dari mulut mereka. Hingga gelak tawa menemani dinginnya malam hari.

  “Aku takut, tapi aku lebih takut hidup di penjara ini sendirian. Aku tak bisa percaya siapapun kecuali kalian. Jalan apapun yang kalian tuju, aku ikuti.”
Rangkaian kata itu menusuk telingaku malam tadi. Di tengah canda tawa, Hani tiba-tiba mengatakan hal yang teramat pedih. Pikirannya malam itu seolah terbang kemana-mana. Ia tak bisa merasakan hangatnya kebersamaan, hingga mulutnya tak bisa ia tahan. Wajahnya tampak penuh syukur kala itu.

Di sampingku masih ada Rhea yang tertidur di sandaran pundak. Air mukanya menunjukkan kelelahan, sampai-sampai tidurnya tidak lagi terganggu dengan suara apapun. Mataku hanya bisa tertuju pada Hani dan Devano di kejauhan sana. Telingaku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, suara mereka keras sekali.

  “Sudah, berhenti. Jangan main air lagi!” seru Hani menyuruh Devano untuk mencipratkan air. Senyum jahil Devano terukir, lantas berhenti.
Keduanya duduk di atas bebatuan, merasakan derasnya aliran sungai di kaki. Dingin sekali rasanya. Dua pasang kaki menendang-nendang air, bersama sedikit cerita mengiringi mereka. Saking fokusnya memandang kedua sahabatku di sana, tak kusadari Rhea telah bangun dari tidurnya.

  “Mereka sedang apa di sana?” tanyanya dengan mata memicing. Aku menggeleng tidak tahu. Lantas, Rhea pun berdiri sembari meregangkan badannya.

Di situlah perhatian kami berdua tertuju pada lelaki yang sibuk mencari ranting pohon. Langkahnya mondar-mandir mencoba ketahanan si ranting pohon. Lantas, Alvian berjalan menuju tepi sungai.

  “Kamu mau memancing lagi?” tanya Rhea saat melihat Alvian sedang bergulat dengan ranting kayunya di pinggir sungai. Gadis itu bangkit, mengambil langkah mendekati Alvian.

  “Hahaha, iya. Tunggu dulu ya, nanti kita makan ikan lagi…” jawab Alvian sembari tertawa kecil. Lelaki itu berdiri dan pergi mengambil lebih banyak cacing.

   “Apa dia ketagihan makan ikan? Aneh, sekali padahal kemarin baru makan ikan,” celoteh Rhea heran. Mendengar itu, aku hanya tersenyum tipis. Kemudian aku tertarik untuk melihat aksi Alvian lagi, jadi aku menghampiri mereka.

  “Bukan ketagihan makan ikan, mungkin dia ketagihan menangkap ikan…” jawabku bercanda, “ayo kita ke sana.”

Kutunjuk sosok dua insan yang sedang bersenandung di atas batu. Aku mengajak Rhea untuk menghampiri Hani dan Devano. Dengan berhati-hati, aku berdiri di tepi. Aku memilih menghirup ketenangan sambil melihat lukisan yang indah. Ternyata pemandangan sungai di pagi hari sungguh menakjubkan.

AYO PULANG! [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang