9

2 2 0
                                    

Rian menghilang diantara kerumunan anak-anak yang baru saja menikmati kebebasan pada jam istirahat. Dia tergesa-gesa, sepasang kakinya menapak meninggalkan ruangan dengan raut yg murung,

bukan lagi secerah hari kemarin.
Ada keinginan yang sangat mendesak yang tengah dirasakannya saat itu, yaitu segera berjumpa dengan temannya, Feylie.

Kalau saja dia tidak cukup pemalu, bisa saja dia menyebut Feylie sebagai gadisnya. Sebenarnya dia hanya membutuhkan sedikit keberanian membuka pintu hatinya untuk gadis yang selama ini menganggapnya sebagai teman, agar mereka bisa semakin akrab dan semakin dekat.

Tapi ternyata itu tidaklah mudah dilakukannya. Apalagi masa itu sepertinya berbicara lain, bahkan dia merasa kesulitan membagi waktu hanya untuk menemui Feylie.

Sampai akhirnya sesuatu yang tidak pernah diharapkan menghampiri hubungan mereka selama ini. Suatu kesalahan yang tidak disengaja akhirnya terjadi dan membuatnya semakin malu untuk menampakkan diri di depan Feylie. Sebenarnya dia tidak sanggup, apalagi menyaksikan kemurungan di wajah gadis itu.

Sepekan telah berlalu sejak Rian mengunjungi Feylie di hari yang cukup menyesakkan itu. Waktu sepekan terasa sangat lama berada dalam kegelisahan rasa bersalah bagi Rian. Kesendirian menyadarkannya kalau selama itu pula Feylie berusaha menjaga jarak dengannya, bahkan sengaja menghindarinya.

Mungkin dengan begitulah Feylie menunjukkan kemarahan padanya, meski Feylie pernah bilang kalau dia sama sekali tidak punya alasan untuk sekedar memarahinya.

Akhirnya Rian menemukan gadis itu, tengah berjalan di koridor menuju perpustakaan sekolah, dan dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang menurutnya cukup berharga itu.

"Feylie, tunggu!" seru Rian segera berlari mendekati Feylie.

"Aku mau bicara sama kamu." Dia menunggu dan berharap gadis itu mau mengerti dan memberinya kesempatan untuk mengungkapkan apa sebenamya yang tengah dirasakannya selama tidak ada waktu buat mereka bersama.

Tertahan, Feylie tidak kuasa menghindar lagi, namun dia bisa saja mengelak dengan seribu satu macam alasan untuk mengakhiri pertemuan itu.

Dia berbalik dan berusaha menunjukkan raut wajah biasa saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

"Aku ada tugas saat ini dan harus segera diselesaikan," ujar Feylie tidak memberikan kesempatan pada Rian.

"Aku akan menunggu sampai kamu menyelesaikan tugas itu," tukas Rian tidak mau menyerah begitu saja. Dia tidak kuasa kalau Feylie masih memilih untuk menghindarinya.

"Butuh waktu cukup lama untuk menyelesaikannya." Feylie sama sekali tidak menatap wajah Rian. Dia tidak ingin melakukan itu karena sepertinya dia enggan untuk melakukannya.

"Kamu anggap aku nggak sanggup untuk menunggu," ucap Rian dengan tekad bulat dan berkeinginan kuat untuk mencairkan kekokohan hati Feylie.

"Tapi kamu belum tentu sabar karena selanjutnya aku akan menghadap kepala sekolah." bohong Feylie.

Merasa dipermainkan, Rian merasa jengah.

"Bukankah itu hanya sebagai alasan saja buat kamu menghindariku." jawab Rian.

"Bukan sebagai alasan tapi aku memang punya tugas dan kegiatan sepanjang hari ini." ujar Feylie.

"Kenapa kamu nggak sekalian bilang kalau kamu memang mulai membenciku." Rian tidak bisa lagi menahan gejolak di hatinya. Sikap Feylie membuatnya marah.

"Aku nggak bermaksud begitu," ujar Feylie dengan napas tertahan.

"Cara bicara kamu mengatakan itu. Kamu boleh marah, Feylie... tapi aku tidak pernah menyangka kalau kamu juga akan membenciku."

Kaget, Feylie membelalakkan mata. "Aku nggak mengerti kenapa kamu bisa mengatakan hal seperti itu dengan suara keras. Baru saja kamu membentakku. Bagaimana kamu bisa melakukan itu sementara kamu nggak mengerti bagaimana perasaan aku." jelas Feylie

Serba salah, Rian mulai kebingungan. "Katakan, Feylie.... bagaimana aku bisa mengerti perasaan kamu," dia berujar dengan putus asa.

"Seandainya saja kamu bisa merasakan apa yang tengah aku rasakan saat ini, Rian... Sebenarnya aku sama sekali nggak bermaksud menghindari kamu. Tapi, menunggu kamu juga suatu pekerjaan yang tidak mudah untuk aku lakukan. Seringkali aku melakukannya, menunggumu dengan harap yang terus saja membelenggu perasaanku. Aku berharap kamu bisa merasakan gejolak jiwa ketika kamu menemaniku. Aku sangat menyukai saat-saat seperti itu, karena saat itulah aku bisa merasakan getar dawai kasih dalam hatiku. Tapi, entah kenapa, kamu sepertinya sama sekali nggak bisa merasa- kannya." Terdiam, Feylie membatin.

Dia bisa membahasakan banyak hal ketika diam seperti itu. Dia tidak perlu lagi malu-malu untuk mengakui perasaannya yang sesungguhnya. Sebenarnya dia menyemai benih-benih kasih selama kebersamaan itu membuat cerita antara dia dan Rian.
Kini, tanpa dia sadari, kasih itu tumbuh semakin bersemi di taman hatinya. Menggoda setiap kesadarannya dengan senyum keindahan akan lahirnya sebuah jalinan cinta disuatu saat nanti.

"Bicaralah Feylie, jangan kamu siksa aku dengan berdiam diri seperti itu. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan, tapi jangan kamu terdiam." pake Rian.

"Nggak ada yang perlu dikatakan lagi." jelas Feylie lagi.

"Kamu bohong." ucap Rian.

"Siapa yang begitu teganya mengingkari janjinya, kamu kan... Jadi kamu nggak berhak menvonis aku begitu." dengan terdesak emosi emosi Feylie terpaksa mengungkit hal tidak penting untuk Rian.

"Aku nggak pernah berjanji. Lagian aku pernah bilang ke kamu kalau jangan minta aku untuk berjanji." jelas Rian tampa merasa bersalah.

"Aku masih ingat akan hal itu. Tapi kenapa kamu berjanji kalau kamu nggak bisa menepatinya." jawab Feylie tak mau kalah.

"Aku tidak ingat kalau aku pernah berjanji." ujar dengan tegas oleh Rian.

"Kamu melupakannya karena itu nggak pernah penting buat kamu, sama seperti nggak pentingnya aku dihadapan kamu. Aku ada ataupun nggak ada, sama saja artinya, karena bagi kamu, banyak hal yang lebih penting daripada aku." jawab sendu Feylie

"Apakah kamu merasa seperti itu?" tanya Rian merasa janggal dengan situasi ini.

"Buat apa dibicarakan lagi, kalau semuanya sama sekali nggak ada artinya buat kamu." Feylie memutuskan untuk segera pergi.

"Feylie!" panggil Rian sedikit mengeraskan suaranya.

Sekali lagi langkah kaki Feylie tertahan. Sebenarnya dari tadi, dia ingin sekali cepat-cepat pergi jauh dari Rian. Tapi setiap kali Rian berusaha mencegahnya, setiap kali itu pula hatinya begitu berat untuk meninggalkan Rian. Tapi ketika dia mengarahkan pandanganya pada Rian, dia melihat ada seorang wanita mendekat. Parasnya sangat cantik, tapi dia tidak ada waktu untuk membanding-bandingkan dirinya dengan cewek itu

Leave Your Lover Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang