Nyaris terluka oleh perasaannya sendiri, Rian tidak bisa melewati kebersamaannya secara lebih utuh dengan Arda. Hatinya gundah gulana meski sebegitu kuat dia berusaha mengabaikan persoalannya dengan Feylie. Dia malah semakin merasakan perih ketika tidak mampu menyembunyikan apa sebenarnya yang tengah dirasakannya dari Arda.
Ternyata, gadis itu semakin mengetahui setelah melihat kerapuhan yang tergambar di wajahnya. Dia telah berusaha mengelak dengan menjaga pandangan matanya agar tidak bertemu langsung sepasang mata bening itu.
Tapi, tatapan mata Arda sepertinya mampu menembus perasaannya. Dia pikir, masih ada waktu untuk mengalihkan perhatian Arda, dan dia punya inisiatif memecah kebisuan yang sempat terjadi diantara mereka.
"Tentunya kamu sudah menjumpai pacar kamu hari ini, bukankah karena alasan itu kamu berada disini," ujar Rian bukan bermaksud ingin mencampuri urusan pribadi Arda. Tapi dia berharap, membicarakan orang yang sangat berarti buat Arda akan lebih manarik ketimbang beembahas persoalan yang berkecamuk dalam hatinya saat itu.
"Ya begitulah, tapi kami nggak sempat bertemu karena dia punya urusan yang lebih penting." jawab Arda.
"Bukankah bagi seorang cowok, gadisnya lah yang lebih penting dari segala galanya?" ucap Rian seolah bertanya.
"Sebutan pacar belum bisa memposisikan aku lebih penting dari banyak hal yang penting- penting." jelas Arda.
"Kamu nggak merasa kecewa?" tanya Rian.
"Awalnya sih iya, perasaan kecewa itu begitu mengganggu, tapi selanjutnya nggak lagi. Mungkin karena keseringan, akhirnya aku malah terbiasa. Tapi sudahlah, nggak begitu asyik untuk dibicarakan." ungkap Arda.
"Bagaimana kalau aku teraktir kamu es krim, dan kita bisa melewati waktu yang tersisa hari ini di taman sekolah?" ajak Rian.
"Ehm gimana ya...' Arda mencoba berfikir.
"Kalau begitu diganti dengan cokelat kalau kamu nggak suka es krim." tawar Rian.
"Aku lebih suka es krim ketimbang cokelat." ujar Arda.
"Baiklah, kamu tunggu sebentar aku pesankan es krim." Rian berlari-lari kecil menuju toko es krim yang tidak jauh dari tempat mereka.
Beberapa saat kemudian dia sudah kembali dengan membawa dua kaleng pelastik kecil es krim dan menyerahkan es krim di tangan kanannya pada arda.
"Ini buat kamu." Rian memberikan es krim itu pada Arda.
"Es krim rasa durian," ujar mereka berbarengan setelah mencoba satu sendok kecil.
"Kok kamu tau rasa es krim kesukaan aku?" tanya Arda.
"Aku hanya menebak setelah nggak cukup waktu buat main lotre untuk mengetahui rasa kesukaan kamu." canda Rian.
"Hei, aku serius nanyanya ke kamu, kok kamu jawabnya bercanda begitu." kepo Arda.
"Aku memilihnya dengan hati, dengan penuh perasaan." Rian berkata seperti satu bisikan di dekat telinga Arda.
Sepasang mata Arda menatap lembut, syahdu ketika berbalas tatap dengan mata Rian. Dia dapat merasakan hatinya bergetar cukup halus seakan berbisik lembut kalau dia sangat suka cara Rian menarik perhatiannya. Dia tidak membutuhkan kata-kata untuk mengungkapkan rasa itu. Lewat tatapan mata, dia percaya Rian pasti mengetahuinya.
"Sekarang kita ketaman," ucap Rian menarik tangan kanan Arda. Mereka terpaksa berlari-lari kecil untuk sampai ketaman sekolah.
"Apa benar kamu memilih rasa kesukaan aku itu dengan hati?" tanya Arda setelah mereka sampai di taman.
"Syuuuttt... jangan bicara." pelan berucap Rian
memberikan isyarat pada Arda. Setelah itu dia memejamkan mata dengan kedua tangan terentang.
"Aku dapat merasakan begitu sejuknya udara disekitarku." Dia bergumam mengungkapkan apa yang tengah dirasakannya saat itu.
Dia berusaha menceritakannya pada Arda dengan suara lembut. Tanpa menunggu lama, Arda pun melakukan hal yang sama seperti Rian. Dia memejamkan matanya dan membiarkan kedua tangannya terentang seperti berusaha menggapai angin yang bertiup.
"Sepertinya angin bisa berbicara dengan hembusannya," ucap Arda terus memejamkan mata.
"Membawa semerbak wanginya bunga di taman jawab Rian.
"Dan pohon akasia yang rindang dengan dedaunan hijaunya turut serta dalam nyanyian setaman." Arda mengiringi balasan ulasan Rian.
"Kumbang dan kupu-kupu belajar hinggap di daun ilalang." lanjut Rian pada ulasan Arda.
"Karena merasa malu tidak bisa menari dengan gerakan gemulainya." lanjut lagi oleh Arda.
"Sementara aku dan kamu berdiri dengan sepasang mata terpejam." jelas Rian.
"Berbalas kata penuh makna." diakhir Arda.
Kemudian mereka teringat, tersenyum kecil dan akhimya sama-sama membuka mata, sama-sama saling tatap. Entah siapa yang memulai lebih dulu, mereka tertawa cukup ceria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leave Your Lover
Teen FictionAda kisah yang perlu diceritakan dengan kelembutan. Ketika rasa itu begitu saja menelusup ke dalam relung hati. Berpendar dengan cahaya berkilauan menerangi setiap dinding jiwanya. Sepertinya sepasang matanya memancarkan kekaguman yang amat dalam. K...