Ilusi

7 0 0
                                    

Cinta tak selamanya indah. Aku bingung pada anak seusia ku yang kebanyakan (tidak semua) malah sibuk mencari pacar. Kenaikan kelas ini saja, aku hanya dapat peringkat lima dan aku dimarahi habis-habisan oleh orang-tua ku.

Helaan nafas keluar dari bibir ku, sontak menarik perhatian Edelweis untuk bertanya. "Ada apa, Zemi?" Aku agak kaget karena dia memanggil nama...

"Haha, bukan apa-apa." Aku tersenyum.
Kini gantian Edelweis yang menghela nafas. "Ada apa, Edelweis?" Edelweis terkekeh mendengar aku balik bertanya.
"Bukan apa-apa," Senyuman lembut ia tampilkan, membuat hatiku kembali hangat. "Senyumanmu selalu berhasil membuatku tenang..." Aku menunduk sembari tersenyum.

Edelweis hanya diam.

Hari ini terasa begitu tenang... Aku hanya sedikit khawatir, bagaimana hari esok akan berjalan? Baik atau buruk?
Aku berharap... Yang baik tentunya.

"Aku malas, deh," Kini aku mendongak, menatap bulan. "Ah, bulan sabit..!" ucapku girang. Edelweis hanya menggeleng seakan sudah berdamai dengan sifat ku yang seperti ini.
"Anda sangat menyukai bulan, ya?" Tiba-tiba saja edelweis bertanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Jika matahari di pagi hari, maka bulan akan ada di malam hari. Aku suka malam hari, malam hari sangat tenang.
Malam, seolah memeluk jiwa-jiwa yang kesepian," ucapan ku menggantung.

Tampak dari sorot mataku, Edelweis tengah memperhatikan ku yang berhenti berbicara. Aku melirik, mata kami beradu tatap. Dari matanya itu, aku dapat melihat sebuah... Hal yang sulit dijelaskan. Aku mengalihkan pandangan segera, lalu melanjutkan perkataanku.

"Malam dan bulan selalu menyaksikan jiwa-jiwa itu melamun. Memikirkan sesuatu entah itu masa lalu, masa kini, atau masa depan. Mereka juga turut melihat jiwa yang kesepian tengah menangis. Malam hari selalu menjadi waktu yang tepat untuk meluapkan isi hati dan pikiran dalam diam."

Keheningan melanda, sejak aku berbicara panjang lebar barusan...
Entah sudah berapa menit kami berdua hanya diam. "Nona," Suara lembut itu seakan menarik ku masuk kedalam pelukannya. Aku hanya berdehem sebagai jawaban.

"Tidakkah anda lelah?"

Pertanyaan yang tak perlu dijawab.
Aku diam. Aku tidak menjawabnya. Beberapa menit kemudian aku baru menoleh dan menatap Edelweis.
"Entahlah," ucapku sembari menundukkan kepala ku untuk kesekian kalinya. "Tolong, jangan menunduk saat berbicara dengan saya." Sontak aku mendongak, menatap paras rupawan nya. Iris emerald miliknya yang begitu indah itu menatapku, lagi-lagi dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

Sedari tadi, kami duduk berdampingan di atap mansion. Ya, atap mansion. Edelweis dan aku selalu di sini pada malam hari. Jika tidak di atap, ya di balkon kamar ku. Selalu, selalu menikmati langit malam.

Ia menarik ku untuk lebih dekat.
Tangan kami bersentuhan, ia mendekatkan bibirnya pada telingaku. Saat itu terasa begitu cepat.
Dalam hitungan detik aku sudah ada dalam dekapannya. Hangat dan nyaman.

Aku dapat mendengar deru nafasnya dengan jelas... Tak lama kemudian ia membisikkan dua kata;

"Selamat tidur."

𝐃𝐑𝐄𝐀𝐌𝐒 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang