Cameron hanya terus memberikan pandangan dalam, membuat Liara merasa jengah sendiri. Apalagi Isla sepertinya tidak menyadari bagaimana suaminya itu menatap adik iparnya. Isla terlalu sibuk membicarakan kehidupannya sendiri setelah mereka menikah. Dia banyak bercerita yang membuat Liara yang mendengarnya merasa kakaknya hanya sedang coba pamer dan mengatakan kalau dia sangat bahagia dengan suaminya.
Semakin kau menonjolkan sesuatu, semakin orang akan melihat celanya.
Isla meraih tangan Liara dan membawanya pergi, Cameron mengambil tas Liara dan akan membawakannya. Liara sudah menolaknya karena tidak nyaman. Tapi Isla memintanya membiarkan. Bagaimana pun mereka harus lebih akrab jadi hal semacam itu harusnya biasa saja. Kakak ipar membantu adiknya bukan sesuatu yang harus diributkan.
Isla membukakan pintu mobil di bagian tengah untuk Liara. Dia mempersilakan adiknya masuk dengan sopan yang berlebihan.
"Terima kasih, Isla." Liara masuk dan duduk dengan nyaman. Dia sudah memasang sabuk pengamannya dan menatap ke depan hanya untuk menemukan Cameron di sana. Dia bahkan tidak perlu menatap di arah depan untuk mengenal punggungnya. Dalam segala sisi, Liara mengenal Cameron sepenuh hati.
Saat dia mengangkat kepalanya, dia menemukan mata Cameron sedang menatapnya lewat spion tengah mobilnya. Pandangan mereka sempat bertemu dan Liara segera mengalihkan pandangannya. Berdeham dengan salah tingkah gadis itu segera memandang ke arah kaca mobil di sampingnya. Melihat bandara yang dipenuhi dengan para pendatang yang hendak menjemput keluarganya atau orang-orang yang pergi entah ke mana.
Tidak lama Isla juga sudah masuk ke mobil. Dengan senyuman bahagia dia menatap ke arah Liara. "Aku baru saja bicara dengan ibu. Dia mengatakan soal makan di luar. Kau pasti lapar."
"Pulang saja. Aku tidak terlalu lapar."
"Ibu sudah menunggu di restoran."
Liara yang mendengarnya segera menatap ke depan, memberikan pandangan tidak senangnya. Tapi pada akhirnya dia mendesah dan mengangguk. "Lakukan sesuai kemauan ibu."
"Bagus. Ayo, Sayang. Kita ke restoran yang biasa kita datangi."
Cameron melirik ke Isla sebentar. Seolah ada protes di bola mata itu. Tapi kemudian Cameron tidak mengatakan apa pun. Dia menyalakan mesin mobilnya dan segera berkendara meninggalkan bandara.
Sementara Isla menatap ke sisi kaca. Kehilangan senyumannya yang tadinya tampak begitu cerah dan bahagia. Tapi tidak lama senyuman itu kembali, dia kemudian sibuk bicara dengan Cameron membicarakan kebahagiaan mereka soal pernikahan. Cameron tidak terlalu menanggapi, Isla bicara sendiri dengan heboh.
Liara yang tidak mau mendengar semua percakapan romantis kakaknya segera meraih headset di kantong ranselnya, membungkam telinganya dengan suara musik yang kencang. Dia kemudian menyandarkan kepalanya di kursi dan memejamkan matanya. Menikmati ketenangan lewat lagu yang berputar dengan kencang. Itu lebih baik dari pada sakit hati mendengar kata penuh sayang yang dilayangkan kakaknya untuk Cameron.
Beberapa saat dalam keributan lagu yang memberikan setidaknya sejenak kedamaian bagi Liara, dia merasakan mimpi menjemputnya dan membawanya ke sisi yang menenangkan sejenak. Liara menikmati tidurnya sampai dia merasa seseorang terasa ada di depannya.
Pelan gadis itu membuka mata, memastikan hanya untuk menemukan mata hijau gelap yang hampir mengarah ke biru milik Cameron. Gadis itu dengan teperanjat segera duduk dan hampir menabrak wajah Cameron yang sangat dekat dengannya.
"Cam!" serunya dengan agak kelabakan dan lupa kalau mereka tidak dekat untuk membuatnya bisa memanggil nama itu dengan biasa. "Aku ... kau ...." Liara melepaskan headsetnya. Meninggalkan lagu keras itu dan disambut dengan keheningan. Karena suara mobil juga menghilang dan saat menatap sekitar, dia menemukan mobil juga sudah berhenti. Mereka sudah sampai tampaknya.
"Isla meminta aku membangunkanmu. Dia sedang mencari di mana ibumu berada."
Liara berdeham segera dengan begitu salah tingkah. Dia merapikan rambutnya dan segera bergerak hendak menabrak pria itu karena mau lewat. Cameron berdiri di pintu mobil yang menyusahkan gadis itu bergerak tanpa Cameron benar-benar meninggalkan sisi itu.
Cameron yang mengerti segera memberikan jalan tanpa banyak bicara.
Liara lewat tanpa kendala. Dia sudah mendesah dengan lega saat dia kemudian mendengar suara Cameron yang berucap, "panggilanmu cukup akrab."
Terdiam mematung, Liara butuh banyak usaha untuk mengendalikan dirinya sendiri sebelum dia berbalik memandang ke arah Cameron dengan tidak mengerti. "Ya?"
Cameron mendekat, menjulang tinggi di depan Liara.
Liara memasak kakinya di terotoar itu. Dia mengepalkan kedua tangannya karena jelas tidak terbiasa dengan kedekatan mereka yang seperti ini. Liara takut Cameron akan mendengar degup keras jantung Liara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ranjang Mantan Ipar (SEL)
RomanceLiara Fisher sangat tahu siapa pemilik hatinya, pria yang dia taksir sejak awal kuliah sampai dia berusia 25 tahun. Pria yang tidak bisa membuatnya membuka hati untuk pria lain, satu-satunya pria yang membawa debar pada jantungnya. Dan pria itu mala...