"Aku senang kau memanggilku seperti itu," ucap Cameron kemudian meninggalkan Liara. Melewati gadis itu dengan lengan mereka yang berbenturan.
Liara masih berdiri kaku di tempatnya. Dia merasakan degup keras jantungnya. Juga rasa panas di kulit yang tadi bersentuhan dengan pria itu. gadis itu coba mengendalikan wajah dan perasaannya. Ada setitik bahagia dalam perasaannya saat mendengar Cameron mengatakan demikian, tapi titik itu berubah menjadi pahit saat dia ingat bahwa kebahagiaan itu bukan haknya. Cameron sekarang adalah kakak iparnya, apa pun bentuk perasaan yang dulu pernah ada, Liara harus segera mengenyahkannya. Liara benci masuk ke dalam kerumitan. Jadi dia tidak akan melangkahi sesuatu yang dia sendiri sudah sadari akhirnya.
Dia melangkah setelah yakin sanggup menghadapi situasi dan dirinya. Masuk ke restoran yang tampak terlalu mewah untuk ukuran makan siang yang terlambat. Bergerak mengikuti punggung Cameron, Liara menemukan keberadaan ibunya yang tampak seperti baru saja datang. Sepertinya ibunya bukan menunggu di tempat ini melainkan terburu-buru datang. Karena Liara menemukan ibunya sama sekali tidak menggunakan make up sama sekali. Wajah itu pucat tanpa pewarna. Meski sudah memiliki dua anak perempuan, ibunya memang tidak pernah meninggalkan make upnya.
Isla segera menarikkan kursi untuk Liara, di dekat ibunya. Wajah kakaknya itu semringah yang berlebihan. Seolah dia menginginkan seluruh dunia tahu kalau dia adalah perempuan yang paling bahagia. Liara iri melihatnya tapi kadang dia memang merasa Isla mendapatkan apa yang selalu ingin dia dapatkan. Isla dengan mudah berteman juga mendapatkan pasangan. Sementara bagi Liara, kedua hal itu begitu sulit dia lakukan.
Teman, dia benci berada dalam lingkungan. Menggosipkan orang-orang dan menjadi bahan pandangan orang lain. Itu makanya Liara lebih suka bersembunyi dan berada di sudut setiap ada acara. Dia menyukai kesunyian dan dunianya. Duninya dulu adalah Cameron, tapi bahkan kakaknya menggapai dunianya yang membuat Liara merasa begitu buruk dalam kehidupan ini.
Tapi Isla kakaknya, bagaimana pun, Isla adalah keluarganya. Isla tidak mau bersikap buruk dan membenci kakaknya sendiri. Selama Isla bahagia, Liara akan rela.
Liara meraih makanan yang sudah terhidangkan. Dia memakan makanan dengan lahap karena memang lapar. Ibunya sendiri memberikan beberapa makana kesukaannya sampai Liara menatap ke depan dan menemukan Isla sedang menuangkan soda ke gelas Cameron.
Bergerak tanpa berpikir tangan Liara segera menghentikan kakaknya. Dia membuat pandangan semua orang tertuju pada apa yang dilakukannya. Tapi Liara sepertinya butuh tambahan otak karena dia mulai bicara. "Bukankah Cameron tidak minum soda?"
Isla menatap Liara bingung. Kemudian mengalihkan pandangannya ke Cameron. "Kau tidak minum soda?"
Cameron sendiri meletakkan sendoknya kemudian menatap Liara. "Tidak. Tapi kupikir hanya segelintir orang yang tahu. Hanya mereka yang sangat dekat denganku. Bagaimana kau tahu, Liara?"
Liara baru menyadarinya sekarang. Kesalahan besar yang dia lakukan.
"Ya. Kenapa kau bisa tahu, Liara?" Isla juga bertanya dengan heran.
Liara meremas sendok dan garpunya. Dia ingin memukul mulutnya sendiri. Harusnya dia menahan diri. Apa yang sedang coba dia buktikan dengan melakukannya.
Semua pandangan kini mengarah padanya. Mereka tidak akan berhenti menatap padanya sampai Liara memberikan jawaban. Tidak ada jalan melarikan diri.
"Aku melihatnya," ungkap gadis itu akhirnya. Menjawab sekenanya.
"Melihatnya?" tanya Cameron memastikan. "Di mana? Kapan?"
Liara hampir bisa merasakan darah dingin yang mengalir di tubuhnya. Dari semua pandangan, tatapan mata hijau Cameron adalah yang paling mengganggunya. "Saat pesta pernikahan. Bukankah kau menolak soda yang ditawarkan seseorang yang ada di sebelahmu?"
Isla menatap suaminya. Mencari tahu kebenaran perkataan Liara yang tampak terdengar janggal baginya.
"Kau mengingatnya dengan sangat benar. Aku bahkan melupakannya. Itu tiga bulan yang lalu dan aku masih mengingatnya."
Liara tersenyum dengan tipis. "Hanya kebetulan."
Liara mengakui, jika itu mengenai Cameron, setiap detailnya dia tidak akan melupakannya. Bahkan pertemuan pertama di mana pertama kali degup jantung Liara berdetak saja, dia masih mengingatnya dengan sangat jelas. Apalagi hanya tiga bulan yang lalu.
"Aku tidak tahu kau begitu pandai mengingat, Liara," ucap Isla memberikan pandangan aneh pada adiknya.
Liara hanya tersenyum pada kakaknya. Dia tidak mau bicara banyak. Karena jika dia banyak bicara maka kemungkinan untuk mengungkap sesuatu yang tidak dia ungkapkan akan lebih mudah terendus.
"Kau harusnya katakan padaku kalau kau tidak minum soda," Isla sudah mengambil susu cokelat untuk Cameron. Dia menuang dengan pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ranjang Mantan Ipar (SEL)
RomansaLiara Fisher sangat tahu siapa pemilik hatinya, pria yang dia taksir sejak awal kuliah sampai dia berusia 25 tahun. Pria yang tidak bisa membuatnya membuka hati untuk pria lain, satu-satunya pria yang membawa debar pada jantungnya. Dan pria itu mala...