"Kenapa, Cam?"
"Kau alasannya."
Liara menunjuk diri tidak percaya. "Aku alasannya? Apa kau bercanda?"
Pria itu tersenyum dengan lembut. Dia kemudian duduk di atas ranjang Liara. Menatap pada gadis yang masih berdiri dengan bingung itu.
Liara sendiri tahu kalau Cameron memang apa adanya. Dia sangat mengenal Cameron lebih dari dia mengenal orang lain bahkan ibunya sendiri. Dia percaya Cameron bukan orang yang tidak masuk akal. Jika ada yang membuatnya membenci seseorang pastilah alasannya cukup kuat.
Apa ibunya bersikap kurang ajar atau mungkin meremehkan Cameron? Mengingat Cameron mengakui diri sebagai karyawan biasa. Itu membuat Liara semakin penasaran. "Kenapa kau mengatakan dirimu karyawan biasa, Cam?"
"Aku memangnya bukan karyawan biasa?"
"Bukankah kau CEO dari perusahaan Libity?"
Cameron mendengarnya memberikan pandangan kalau dia sudah menebaknya, bahwa Liara tahu. Bahkan Isla saja tidak tahu dan menelan mentah pernyataan Cameron yang mengatakan dirinya karyawan biasa. Tapi Liara malah mengetahuinya.
Segera sadar perkataannya sendiri, Liara buru-buru memberikan pernyataan sebelum pria itu salah paham lebih jauh. "Aku hanya tidak sengaja mengetahuinya. Aku bukannya sengaja mencari tahu. Aku benar-benar tidak sengaja melihat artikelnya."
"Aku tidak mengatakan apa-apa."
Bibir pria itu memang tidak bicara tapi matanya memberikan gambaran yang sungguh menyatakan kalau Liara tidak seharusnya bicara seperti itu padanya. Liara jadi serba salah berinteraksi dengan Cameron, karena dia tidak bisa menahan apa yang harus dia katakan dan tidak.
Dulu dia hanya pengamat dalam diam dan tidak diketahui keberadaannya. Tapi sekarang berbeda ceritanya. Pria itu nyata berada di depannya dan jelas memiliki pandangan yang seolah bisa menembus jiwa dan mengalahkan akal sehatmu.
"Kau akan datang kan?"
"Bukankah aku tidak memiliki pilihan," ucap Liara terdengar enggan.
"Tentu tidak, aku membutuhkan jawaban dan kau harus memastikan dengan benar sebelum memberikan lebih banyak penyangkalan. Kau tidak datang maka aku akan menjemputmu. Semudah itu."
"Ya, semudah itu," ejek gadis itu. Dia kemudian menatap jam tangannya. "Bukankah sudah saatnya kau kembali? Kudengar kau akan menghabiskan malam yang romantis dengan Isla. Jangan membuat dia menunggu."
Cameron bukannya bergerak pergi malah menyilangkan kaki menatap Liara tertarik. "Jangan katakan kalau kau sedang merajuk karena Isla mengatakan itu padamu? Itu yang membuatmu sinis padaku sejak tadi?"
"Aku tidak sinis. Kau berlebihan."
"Benarkah? Aku merasa kau sedang kesal padaku."
Liara bersedekap. "Itu hanya khayalanmu saja. Kenapa aku harus kesal padamu."
"Oh, jadi kau tidak kesal karena aku menyelinap masuk ke kamarmu? Kupikir kau akan kesal dan marah."
Liara yang mendengarnya melongo dan segera sadar pria itu mempermainkannya. "Tentu aku kesal dengan kau datang ke kamarku. Dan kenapa kau menyelinap ke sini? Bagaimana kau naik? Kalau ada yang menemukanmu, kau bisa dalam bahaya. Kita bisa tertuduh melakukan sesuatu yang tidak kita lakukan."
"Bukankah akan sangat mencurigakan kalau aku tiba-tiba mengetuk pintu depan dan mengatakan akan bertemu denganmu?"
Liara tidak mengatakan apa pun tapi dia setuju.
"Kau khawatir aku dalam bahaya?"
Gadis itu segera antisipasi. "Tidak. Aku tidak mengatakan itu. Aku hanya bertanya. Dan ya, kau suami kakakku. Aku tentu saja memiliki sedikit kekhawatiran."
"Sebentar lagi tidak," gumam pria itu.
"Hah? Apa katamu?" Liara memastikan.
Tapi Cameron hanya memberikan gelengan dengan senyumannya yang menyebalkan. Liara mendengarnya dan ingin memastikan kalau dia benar-benar mendengar Cameron mengatakannya. Saat dia tahu Cameron tidak akan bicara lagi, Liara jadi memikirkannya. Mungkin dia memang salah mendengar. Dia tidak mau mendugakan sesuatu yang tidak pasti, apalagi Cameron memang menyebalkan orangnya.
Cameron berdiri, Liara yang tidak mengukur jarak kini membuat dia berdiri tegak di depan Cameron, mendongak ke arah pria yang sedang meraih anak rambutnya dan menyelipkannya di belakang telinga.
Liara sudah menepis tangan Cameron saat dia mendengar suara langkah datang mendekat. Liara hampir menyumpah, kenapa mereka terus akan ketahuan seperti ini? Apalagi kamar Liara memang berada di ujung dan jelas sekali langkah itu mengarah ke kamarnya. Dengan segera Liara meraih pergelangan tangan Cameron dan memasukkan pria itu ke kamar mandi. Dia memberikan gerakan dengan telunjuknya ke bibir, meminta Cameron diam.
Dengan santai Cameron hanya berdiri diam di sana. Tidak ada keresahan atau ketakutan. Entah pria itu yang bernyali besar atau dia hanya merasa segalanya memang seperti permainan anak-anak.
Saat Liara sudah menutup pintu kamar mandi, dia segera mendengar suara pintu yang dibuka tanpa ketukan. Ibunya memang seperti itu, dia tidak pernah memberikan celah pada putrinya memiliki ruang pribadinya sendiri. Dia bisa masuk semau hatinya kapan pun. Awalnya itu tidak mengganggu tapi sekarang tampak sedikit agak mengganggu. Karena Liara sendiri tahu bagaimana ketat ibunya mengunci pintu kamarnya.
Agar anaknya tidak mendengar suara-suara desahan ketika dia bermain dengan kekasihnya yang memang agak muda darinya. Pria itu lebih cocok menjadi kakak mereka dibandingkan menjadi calon ayah.
Yang lebih membuat Liara tidak setuju adalah ibunya yang membiayai pria itu segalanya. Karena ibunya memang masih bekerja dan mencintai pekerjaannya, jadi baginya tidak masalah memberikan uang pada pria itu selama pria itu tetap menemaninya.
"Kau hubungi Isla, katakan padanya, apakah Kane ada menghubunginya?" tanya Sarah tanpa memberikan sapaan lebih dulu.
Liara kelabakan sendiri dan segera membenturkan punggungnya di pintu, menahan mungkin ibunya tiba-tiba ingin menggunkan kamar kecilnya.
"Ada apa denganmu?" tanya ibunya dengan tatapan agak tidak biasa.
"Tidak apa-apa. Kau tidak bisa menghubungi Kane?" tanya Liara yang sudah mengeluarkan ponselnya. Mengalihkan perhatian ibunya.
"Ya. Aku sudah coba menghubunginya beberapa kali tapi tidak juga tersambung. Dan Isla tidak menjawab panggilanku. Mungkin kalau kau yang menghubunginya, dia akan menjawabmu."
Apa bedanya dia dan ibunya? Isla jelas akan lebih suka menjawab panggilan dari ibunya dibandingkan dengan Liara. Tapi Liara tidak mengatakan apa pun dan segera menghubungi Isla. Dan sesuai dugaan Liara, Isla tidak menjawabnya. Bahkan terdengar dimatikan sendiri oleh si penerimanya. Itu membuat Liara menatap ponselnya.
"Kenapa?"
Liara menatap ibunya bingung. "Dia mematikannya. Bukannya tidak dijawab, dia hanya mematikannya begitu saja."
"Benarkah?" keresahan di wajah Sarah tampak memenuhi pandangan Liara.
***
Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di akuSampai jumpa mingdep 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ranjang Mantan Ipar (SEL)
RomanceLiara Fisher sangat tahu siapa pemilik hatinya, pria yang dia taksir sejak awal kuliah sampai dia berusia 25 tahun. Pria yang tidak bisa membuatnya membuka hati untuk pria lain, satu-satunya pria yang membawa debar pada jantungnya. Dan pria itu mala...