"Ada apa, Ibu? Apa terjadi sesuatu?"
Ibunya menggeleng segera memberikan penolakan kuat, lebih seperti ingin meyakinkan dirinya dibandingkan membuat Liara percaya. Sarah kemudian memikirkannya sejenak. "Mungkinkah kau memiliki nomor Ron? Tanyakan padanya apa Isla bersamanya."
"Mana mungkin aku punya. Kami saja baru bertemu siang ini dan tidak ada yang membahas nomor telepon. Kau tidak punya?"
"Tidak. Baiklah. Kau tidurlah, aku tidak akan mengganggumu. Selamat malam." Sarah segera berlalu pergi tanpa mengatakan apa pun lagi.
Tapi wajah pucat wanita itu segera memenuhi pandangan Liara. Gadis itu segera beranjak ke pintu dan menempelkan telinganya di pintu. Mendengarkan suara langkah ibunya yang benar-benar menjauh dan menghilang. Baru setelahnya dia mengunci pintunya. Jangan sampai dia ketahuan menyembunyikan Cameron di sini.
Setelah selesai menguncinya, Liara sudah berbalik dan hampir terperanjat di tempatnya karena Cameron menjulang di depannya dengan Liara yang sudah setengah menabraknya
"Cam!" seru Liara dengan bisikan. "Kau hampir membuat aku berteriak," bisik gadis itu lagi memegang dadanya yang berdegup keras karena terkejut.
"Harusnya kau mendengar suara langkahku," balas Cameron dengan berbisik juga.
Liara yang mendengarnya memundurkan sedikit kepalanya. "Kenapa kau berbisik?" suara Liara sudah biasa.
"Kau yang mulai. Bukankah menyenangkan saat bisikan dilawan dengan bisikan. Itu terdengar menegangkan dan menyenangkan."
Tangan Liara segera mendorong dada Cameron. "Berhenti bermain. Kau mendengar yang tadi ibuku katakan?"
"Dia mencari kekasihnya itu?"
"Jadi kau mendengarnya. Apa kau tahu sesuatu tentang Kane dan Isla?"
"Kenapa dengan mereka?"
Liara bergerak ke kasurnya dan duduk di pinggirnya. "Aku hanya merasa ibuku mencurigai sesuatu. Tapi dia memiliki harga diri yang tinggi, dia tidak akan mau seseorang tahu ada masalah padanya."
"Lalu menurutmu apa yang dia curigai? Bahwa Isla dan pria itu mungkin berselingkuh?"
Sesuatu yang tidak berani dikatakan bahkan dipikirkan oleh Liara segera keluar dari mulut Cameron. Saat Liara menatap pria itu, dia menemukan Cameron sedang dengan sangat santainya menarik kursi ke depan Liara. Kata perselingkuhan sama sekali tidak mengganggunya. Entah dia tidak peduli atau dia hanya terlalu percaya pada Isla.
"Kau tidak mencurigainya?" Liara memutuskan bertanya. Ingin tahu sejauh apa Cameron mempercayai Isla.
"Dia mau melakukan, bukan urusanku. Terserah padanya. Selama dia tidak menggangguku, itu sudah bagus."
"Tapi dia istrimu. Kau benar-benar tidak peduli mungkin dia berselingkuh di belakangmu?"
"Dia bukan istriku."
Liara yang mendengar mengerut tidak mengerti. "Apa yang kau katakan dia bukan istrimu?"
Cameron hanya mendesah, dia menatap Liara sebentar, tadinya ingin mengabaikan tapi kemudian tahu harus memberikan peringatan. "Ingat saja, jangan masuk ke dalam masalah mereka. Jangan membuat masalah untuk dirimu sendiri. Karena aku tidak setiap saat bisa membantumu. Meski aku tentu saja tidak akan pernah membiarkan siapa pun mengusikmu."
Liara sudah hendak melontarkan kalimat untuk penegasan seperti apa sebenarnya hubungan kakaknya dan Cameron. Tapi pria itu memberikannya tatapan penegasan kalau Cameron sama sekali tidak mau membahas lebih jauh.
Tahu seperti apa sifat pria itu, Liara akhirnya bungkam. Dia hanya duduk diam dengan pemikiran yang dalam. Dia hanya pergi tiga bulan tapi tampaknya segala berubah di setiap sisi kehidupannya. Dan kini dia melihat terlalu banyak hal yang tidak diketahuinya.
"Dengar ...." Cameron berlutut di depannya.
Liara membuka mulut dengan tidak percaya. Tapi suara Cameron memang tertahan sebab ponsel Liara sudah lebih dulu berdering. Liara meraih ponsel yang tadi sempat dia letakkan di kasurnya. Menemukan nama Isla di sana. Liara menunjukkan layar itu ke Cameron.
Meraih ponsel Liara, Cameron segera mendapatkan perlawanan dari gadis itu. Liara takut Cameron akan melakukan sesuatu yang nekat dengan mungkin menjawab panggilan Isla dan mengatakan di mana mereka berada. Untuk saat ini Liara benar-benar tidak mau terlibat ke dalam rumah tangga yang aneh ini.
Cameron memberikan gerakan akan menjawab menyalakan speakernya. Liara mengalah dan memberikan anggukan. Kemudian panggilan itu dijawab dan Liara mengerut saat dia mendengar suara erangan dan beberapa hisapan di seberang sana. Seperti sesuatu yang dikulum dan dilepaskan dengan kuat hingga terdengar desahan nikmatnya.
"Oh, dia sudah menjawab panggilannya," ucap suara Isla yang terdengar terengah.
Liara menatap Cameron yang masih diam dengan santai. Dia tidak terkejut sama sekali. Pria itu malah sibuk memainkan tangan Liara yang ada di paha gadis itu. Membiarkan Liara yang memegang ponselnya.
"Liara?" Isla memanggil masih dengan suara erangan tertahan.
Dalam bayangan Liara, seseorang sedang menyentuh Isla dan tampaknya tidak bisa menahan diri dalam memberikan kenikmatan pada kakaknya itu. Itu membuat Isla terdengar beberapa kali melenguh.
"Isla, kau sedang sibuk. Sebaiknya kita lanjutkan—"
"Jangan khawatir, Ron akan mengerti ...," rengek gadis itu dibarengi dengan rintihan nikmatnya. "Kami hanya sedang melakukan hal yang biasa dilakukan suami istri. Kau akan mengerti setelah menikah nanti ... oh, yah! Di sana, itu nikmat."
Jika itu hanya lelucon maka sekarang Liara tidak akan mendengar geraman pria di seberang sana. Tapi Liara mendengar dengan jelas bagaimana geraman itu terdengar begitu mendesak.
Liara memandang ke arah Cameron yang sedang memberikannya senyuman penuh guyonan. Seolah mengejeknya. Itu membuat Liara memukul pipi Cameron pelan. Membuat pria itu berhenti memberikan ejekan.
"Ada apa kau menghubungiku, Liara. Kumhon, jika tidak penting ...."
"Ibu mencarimu. Dia mengatakan soal Kane yang mungkin menghubungimu. Apa dia melakukannya?"
Beberapa detik terdengar keheningan. Kemudian suara geraman dan lenguhan itu kembali.
"Tidak. Aku sibuk dengan Ron sekarang dan tidak bisa diganggu. Katakan saja pada ibu untuk menunggu. Mungkin kekasihnya sedang sibuk. Sudah, Liara." Dan sambungan terputus.
Liara melepaskan ponselnya yang segera jatuh ke pangkuannya. Dia menatap pada Cameron yang masih memainkan satu tangannya yang bebas. "Apa sebenarnya yang terjadi?"
"Tanganmu dingin."
"Kau tahu semuanya?"
"Apa?"
"Semuanya, Cam? Bagaimana sebenarnya hubunganmu dengan Isla? Kupikir kalian menikah dan menjadi pasangan. Aku tidak mengerti sekarang."
"Anak kecil tidak perlu mengerti." Cameron mengelus tulang hidung Liara.
"Cam, aku 25 tahun."
"Maka datang besok. Dan akan kukatakan apa pun yang ingin kau tahu."
Liara tidak punya pilihan.
***
Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di akuSampai jumpa mingdep 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ranjang Mantan Ipar (SEL)
RomanceLiara Fisher sangat tahu siapa pemilik hatinya, pria yang dia taksir sejak awal kuliah sampai dia berusia 25 tahun. Pria yang tidak bisa membuatnya membuka hati untuk pria lain, satu-satunya pria yang membawa debar pada jantungnya. Dan pria itu mala...