18

343 63 1
                                    

Beberapa minggu berlalu tanpa arti. Hidup Liara terasa tidak sama lagi. Seolah ada sesuatu yang diambil darinya yang membuat dia tidak dapat menemukan kebahagiaannya lagi. Senyuman lenyap dari bibirnya bahkan rasanya makan pun terasa tidak ada yang membuatnya nyaman. Dia hanya ingin bertemu pria itu, melihatnya bahan hanya dari jauh juga tidak masalah.

Tapi akal sehatnya terus menghentikannya. Karena dia tahu, melihatnya tidak akan pernah cukup. Bahkan menyentuhnya juga tidak akan terasa melegakan. Karena perasaan memang egois adanya. Dia tidak akan memedulikan hal lain selain dirinya sendiri.

Apalagi perasaan Liara yang selama ini hanya dapat memandang dari jauh. Berdiri menatap di sudut lalu tiba-tiba pria itu menyadari kehadirannya, menerima dirinya dengan sepenuh hati dan ingin mengambil hubungan serius di antara mereka.

Mana mungkin perasaannya akan puas hanya dengan melihat dan menyentuh, butuh bertahun-tahun untuk bisa dilihat. Jika Liara tidak memilikinya maka dia tidak akan pernah mengenal kata puas.

Itulah yang selalu menghentikannya menyelinap untuk mencari keberadaan pria itu. Padahal dia haus akan kehadiran pria itu dan haus menatapnya dari sudut di tempat yang tidak akan pernah menjadi objek pandang pria itu. Tapi resikonya terlalu besar hingga menakutkan.

Liara mendesah. Taksi berhenti dan dia segera turun. Liara sendiri mengelola restoran kecil yang memang dia buka dengan uangnya sendiri. Restoran itu kecil tapi memiliki banyak pelanggan tetap. Itulah yang dia coba sebagai pengalih perhatiannya. Beberapa karyawannya bahkan menyadari kalau Liara menyibukkan diri dengan terlalu berlebihan. Hanya mereka tidak berani mengatakannya dengan lantang.

Liara tidak dekat dengan siapa pun, bahkan dengan karyawanannya sendiri. Itu membuat dia tidak memiliki tempat mengatakan keluh kesahnya. Dan memang sejak dulu dia tidak pernah mengatakan apa pun yang ada di hatinya kepada siapa pun. Dia menyimpan untuk dirinya sendiri dan membiarkan kepalanya sendiri yang berputar memikirkan masalahnya. Tanpa melibatkan kepala orang lain.

Dia terbiasa tidak memiliki teman dan terbiasa tidak membicarakan masalahnya dengan siapa pun. Meski kadang dia merasa kalau dia membutuhkannya.

Saat masuk ke dalam rumah, Liara langsung berhenti karena mendengar suara isak tangis dari ruang tengah. Bergerak masuk ke dalam, dia menemukan Isla yang sedang menangis dalam pelukan ibu mereka.

Mendekat, Liara menatap Isla dengan bingung. "Ada apa denganmu?" tanya Liara tidak yakin.

Ibunya memandang Liara dengan sorot tidak senang. "Pria sialan itu menyakiti kakakmu. Dia benar-benar tidak berguna!"

"Siapa?" Liara sudah dapat menebaknya, dia hanya butuh mengonfirmasi tebakannya benar atau tidak.

"Siapa lagi kalau bukan Ron. Mantan suami yang tidak mau mengakui istrinya sendiri. Bagus mereka bercerai, itu lebih baik bagi Isla."

"Kalian bercerai?" tanya Liara memastikan pada Isla. Bukan membatalkan pernikahan melainkan bercerai?

Isla mengusap airmatanya. Dia memandang Liara dengan sendu. "Dia selingkuh, Liara. Dia menyelingkuhiku. Makanya aku menceraikannya. Aku tidak mau bersama dengan pria yang menduakan aku. Aku benci perselingkuhan."

Liara yang mendengarnya memandang dengan bingung ... gadis itu hampir berkata kalau Cameron bukan pria seperti itu. Cameron tidak akan pernah berselingkuh karena kisah kelam orangtuanya di mana ibunya bunuh diri karena ayahnya berselingkuh. Dan pria itu anti pada apa yang namanya perselingkuhan.

Tapi kali ini mulut Liara tidak lebih cepat dari otaknya. Dia menahan suaranya saat suara itu hampir keluar dan membuat dia menyesal. Tanpa mengatakannya, Liara tahu kebenarannya dan itu cukup. Dia juga mulai yakin kalau Isla penuh dengan kebohongan. Entah yang mana kata-katanya yang jujur. Semuanya dipenuhi dengan tipuan.

Selama ini dia memang tahu, kadang Isla tidak mengatakan kebenaran padanya. Tapi Liara selalu mampu memakluminya karena Isla tidak merugikannya dalam kebohongan itu. Tapi saat Liara mendengar segala macam perkataan buruk yang ditunjukkan Isla pada Cameron, gadis itu tidak dapat memberikan toleransinya sama sekali. Nama baik pria itu dipertaruhkan hanya karena satu mulut wanita yang sama sekali bukan istrinya.

"Bagaimana kau tahu dia selingkuh?" tanya Liara kemudian setelah mendengarkan ocehan dan cacian Isla pada Cameron. Seolah Cameron pria paling pendosa yang ada di muka bumi ini.

Isla yang mendengarnya terdiam sejenak. Menatap pada Liara dengan pandangan tidak yakin.

"Katakan, kau bilang dia bajingan yang selingkuh dan tidak bersyukur karena mendapatkanmu. Kau temukan wanita itu? Bukti apa yang kau punya untuk membuat kami percaya kalau dia memang selingkuh." Nada itu keras. Pandangannya juga tajam. Apa pun bentuk penghinaan pada Cameron, Liara tidak akan membiarkannya begitu saja.

"Liara!" seru ibunya. Seperti biasa, dengan buta menerima perkataan anak sulungnya. "Lihat kakakmu sedang terluka, kau malah mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Apa sebenarnya yang sedang coba kau lakukan?"

"Kita harus tahu bagaimana Cameron berselingkuh agar kita bisa memberikan keadilan pada Isla. Bukankah itu yang harusnya kita lakukan sebagai keluarganya? Jadi Isla harus memberikan bukti agar kita bisa menuntut Cameron," timpal Liara memberikan penjelasan yang masuk akal.

Ibunya memikirkannya dan perlahan mengangguk membenarkan. Mereka tidak bisa membiarkannya begitu saja menyakiti Isla dan tidak mendapatkan balasan yang setimpal. Menatap Isla, ibunya segera memberikan anggukan yakin. "Katakan, Isla. Di mana buktinya. Berikan padaku. Aku dan Liara akan mengurusnya. Kau akan mendapatkan keadilanmu."

Isla yang dituntut bukti segera menatap ibunya dengan kebingungan.

"Kau ada buktinya kan, Nak? Jangan menyembunyikannya, kau bisa katakan padaku. Aku dan adikmu akan melindungimu."

Bibir itu bergetar dan segera tangisannya kembali pecah. Seolah dia begitu menderita dan kehilangan kewarasannya. Dia berteriak mengatakan kalau dia tidak akan pernah menyakiti Cameron. Dia mencintai Cameron dan banyak perkataan-perkataan yang terdengar berlebihan.

Yang tentu saja berlebihan bagi Liara. Tapi jelas tidak bagi ibunya yang buta pada kasih sayangnya.

"Kenapa kau begitu buta pada cinta, Nak." Sarah memeluk lagi putri sulungnya dengan lebih erat. Menepuk-nepuk punggunya penuh sayang.

Liara masih diam menunggu tidak percaya. Isla benar-benar membuat dia tidak nyaman sekarang. Tahu bahwa Isla bisa membuat nama Cameron buruk membuat dia tidak dapat menerimanya. Cameron tidak boleh begitu saja ternoda namanya oleh wanita yang hanya memanfaatkannya. Entah kenapa Isla mau menikah dengan Cameron tapi seharusnya segalanya selesai sejak pembatalan itu. Tapi Isla masih membuat Cameron berakting sebagai suaminya.

Cameron jelas melakukannya untuk bisa menggapai Liara. Tapi tujuan Isla? Tidak ada diketahui Liara. Jadi Isla benar-benar harus dibuat jera.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Di Ranjang Mantan Ipar (SEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang