Liara membasuh tangannya dengan agak keras. Dia membayangkan bagaimana kedekatan Cameron dan Isla, dan itu memberikan rasa cemburu yang amat besar di hatinya. Apalagi dengan kebahagiaan yang terpancar di wajah kakaknya itu, Liara lebih suka menyelinap pergi saja dari tempat ini. Dia merencanakannya.
Dia sudah membawa ponselnya dan hanya itu yang dia butuhkan. Dia bisa mengatakan pada ibunya kalau ada pekerjaan yang harus dia lakukan dan dia tidak bisa pamit pada mereka. Rencana itu briliant juga.
Tentu saja sampai dia mengangkat pandangannya dan kenyataan berdiri di jarak pandangnya. Kenyataan berwujud Cameron yang mendatanginya sampai ke toilet ini membuat Liara tertegun. Dia butuh banyak waktu untuk mengingat kalau dia sama sekali tidak salah masuk ruangan.
Jika dia tidak salah, lantas kenapa Cameron ada di sini?
Apa Liara mengkhayalkannya? Liara segera berbalik untuk memastikan hanya untuk menemukan kalau pandangannya sama sekali tidak menipu. Cameron memang ada di sana. Berdiri tegak dengan mata yang terus mengawasi. "Cameron," sebutnya.
"Cameron?" beo Cameron mengeja namanya sendiri. "Bukan Cam lagi?"
Liara yang mendengarnya segera menggaruk bagian belakang kepalanya. Dia tidak tahu bagaimana bereaksi dengan adanya Cameron di depannya sekarang. Dia hanya tahu kalau dia tidak menyangka. "Apa kau salah ruangan?"
"Aku tidak buta."
Suara Cameron yang dingin dan tidak menyenangkan membawa perasaan tidak nyaman bagi Liara. "Apa aku melakukan kesalahan?"
"Tidak. Kau merasa melakukannya?"
Liara menggeleng. "Setahuku tidak."
"Kalau begitu memang tidak."
"Lalu apa yang kau lakukan di sini? Ini toilet perempuan, kalau ada yang masuk dan menemukanmu, kau akan mendapatkan masalah."
"Tidak masalah. Aku hanya perlu mengatakan pada mereka kalau aku perlu bicara denganmu. Siapa pun yang datang, akan kukatakan demikian."
Liara menempelkan tubuhnya di wastafel. "Apa yang akan kau bicarakan?" gadis itu memastikan. Dia tampak menahan getaran pada suaranya.
Cameron berjalan dengan perlahan. Mendekat dengan jarak yang terus menipis.
"Kurasa kau bicara bicara di sana," tegur Liara yang mendorong diri ke samping untuk membuat jarak antara dirinya dan pria yang sangat dicintainya itu. Liara tidak mau kecolongan, kalau sampai aroma Cameron menerpa indera penciumannya, dia takut akan melakukan kesalahan.
"Kenapa aku tidak boleh mendekat?" tanya Cameron yang sudah berhenti melangkah. Tidak mau mendesak hanya untuk membuat jarak mereka lebih besar.
"Bukankah itu tidak nyaman."
"Kau tidak nyaman aku mendekat?"
"Bukan seperti itu, hanya saja ...."
"Kau membenciku?" tembak Cameron akhirnya. Kalimat yang begitu ingin dia lontarkan sejak awal pertemuan mereka. Pandangan Liara selalu mengganggunya, seperti ada kesalahan yang dia perbuat dan pria itu sama sekali tidak menyadarinya. "Apa aku ada salah padamu yang membuat kau tidak menyukaiku?" desak Cameron.
"Kau salah paham. Aku tidak membencimu. Sungguh."
"Lalu kenapa kau menjaga jarak dariku sejak awal? Sejak pertemuan pertama kita, kau membuat aku merasa bahwa aku melakukan kesalahan padamu. Kenapa?"
"Aku tidak demikian. Kupikir hanya salah paham. Kau salah paham, Cameron."
"Panggil aku Cam dan aku akan coba percaya padamu."
Itu hanya panggilan dan Cameron bisa begitu sangat tidak masuk akal. Tapi Cameron memang seperti itu. Setiap aturan dalam hidupnya, tidak ada satu mahluk pun yang bisa melanggarnya. Dia tidak akan senang karena hal itu.
Dan Liara tidak akan membuat Cameron tidak senang. "Cam, kau benar-benar salah paham."
"Baiklah. Aku salah paham. Aku minta maaf."
Liara hampir mengeluarkan desahan leganya. Tapi pandangan Cameron yang terus mengawasinya membuat dia tidak dapat memberikan secercah kecurigaan padanya. "Tidak masalah. Hal semacam itu kerap terjadi. Mereka yang ada di dekatku selalu salah paham denganku."
"Siapa yang kau sebutkan?"
Liara memikirkannya. "Mereka yang ingin berteman atau sekedar berkenalan. Mereka selalu beranggapan kalau aku membenci mereka."
Cameron mendekat ke wastafel dan Liara yang salah paham berpikir Cameron akan ke arahnya melangkah mundur, membentang jarak mereka. Itu membuat Cameron menatapnya dengan heran hingga pria itu hanya bisa menahan kesalnya dan tidak mengatakan apa pun. Dia menyalakan air di wastafel dan membasuh tangannya.
Liara memaki di dalam hatinya. Dia tidak seharusnya terlalu waspada. Sudah bagus mereka bisa bicara dengan biasa seperti ini.
"Kurasa kakakmu juga ikut andil pada salah pahamnya mereka," ucap Cameron dengan pandangan mengarah ke tangannya yang sedang dia usap-usap.
"Apa maksudmu?"
***
Pdf : 45k
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ranjang Mantan Ipar (SEL)
Roman d'amourLiara Fisher sangat tahu siapa pemilik hatinya, pria yang dia taksir sejak awal kuliah sampai dia berusia 25 tahun. Pria yang tidak bisa membuatnya membuka hati untuk pria lain, satu-satunya pria yang membawa debar pada jantungnya. Dan pria itu mala...