7

531 82 3
                                    

"Bukankah dia terlalu berlebihan dengan keceriaannya?"

Liara terpana. Cameron menyadarinya. Dari semua orang yang dia tahu, Cameron menjadi orang pertama yang menyadarinya. Isla memang seperti itu, dia begitu ceria dan begitu hebat dalam berdekatan dengan siapa pun. Sampai pria yang kadang menaruh hati pada Liara malah jatuh hati pada kakaknya yang hanya berbeda dua tahun darinya. Seolah segala keceriaan Liara ada pada Isla.

Kadang dia juga merasa kalau kakaknya sengaja melakukannya, demi merebut semua apa yang dia inginkan. Sayangnya, sekali lagi, Liara selalu mengingatkan dirinya siapa Isla. Dan Liara tidak boleh kehilangan kendalinya lalu menuduh yang tidak-tidak pada kakaknya sendiri.

Dia tidak bisa kehilangan keluarga demi orang asing.

Lalu kenapa Cameron bisa dengan mudah menyadarinya. Dan kenapa Cameron mengatakannya seolah dia benar-benar tidak suka dengan sikap Isla itu. Tidakkah Cameron berpacaran terlebih dahulu dengan Isla dan jatuh hati pada kepribadiannya?

Tapi mengingat banyak hal tentang Cameron yang tidak diketahui oleh Isla, itu membuat Liara kembali harus mempertanyakan. Apa yang membuat dua orang ini saling jatuh cinta?

Liara masih merenungkannya saat dia merasakan tangan yang dingin dan basah milik Cameron berada di punggungnya. Liara terkejut dan kelabakan bergerak mundur saat sadar kalau sekarang dia terpepet ke dinding dengan Cameron di depannya dan dinding di belakangnya.

"Cam!" Liara merasa tersesat ke dalam pusaran pandangan mata hijau gelap tersebut.

"Apa sakit?"

"Ya?"

"Ibumu memukulmu di sini. Apakah sakit?"

Liara mengerjap beberapa kali dan ingat pukulan itu. Itulah yang disentuh Cameron. Dan dingin tangan itu membuat dia merasa sangat baik. "Tidak sakit lagi."

"Tadinya sakit?"

"Maksudku tidak sakit sejak awal. Aku terbiasa. Ibu sering memukulku hanya karena hal sepele. Bukan masalah besar."

"Kau melakukannya untukku, terima kasih."

"Apa?"

"Cokelat itu. Bukankah kau tahu aku tidak menyukainya?"

Pupil Liara membesar, tapi sebelum segalanya melangkah ke tempat yang jauh, dia segera ingin mengoreksinya. "Cam, bukan begitu. Aku ...."

Suara langkah terdengar mendekat. Menghentikan suara Liara yang sekarang menatap ke arah pintu toilet.

"Liara, apa kau sudah selesai ...."

Mata Liara melotot tajam. Dia meraih pergelangan Cameron dan segera menariknya pergi. Membawa Cameron masuk ke salah satu bilik dan segera menutup pintunya. Kemudian menguncinya.

"Bukankah masuk ke sini akan lebih membuat dia curiga pada apa yang kita lakukan?" tanya Cameron yang berdiri di belakang Liara. Dia tidak melepaskan pandangan dari gadis dengan aroma manis itu. Aroma buah-buahan segar tercium darinya.

Liara menempelkan telunjuknya di belahan bibirnya. Dia berdiri di dekat pintu dan mendengarkan.

"Liara, kau di dalam?"

Terdengar suara Isla yang mengetuk pintu bilik lain.

Liara menatap Cameron dan mendorong Cameron duduk bersila di atas closet yang tertutup. Dia kemudian berdiri dengan tidak tahu mau melakukan apa. Ada celah di bawah pintu bilik yang akan membuat kau bisa melihat kaki siapa yang ada di dalam. Itu membuat Liara segera mendorong Cameron agar duduk, supaya Isla tidak menemukan kakinya.

Tapi jika dia terus berdiri dan Isla melihatnya. Bukankah Isla akan curiga juga. Itu yang membuat dia mondar-mandir tidak jelas di ruangan sempit dan kecil itu.

Sampai sebuah tangan meraih pinggangnya dan segera menariknya mundur. Memekik tertahan, Liara merasa tubuhnya limbung dan begitu saja jatuh ke pangkuan pria itu. Dia melebarkan pupil matanya tidak percaya, ingin berdiri dan Cameron memberikan gerakan ke luar, tepat ke arah pintu di mana ada bayangan di sana yang menunjukkan seseorang tengah berdiri di sana.

"Liara? Kau di dalam?"

"I ... ya? Isla, aku masih lama. Perutku sakit."

"Apa kau tidak apa-apa?"

"Tidak. Beberapa saat lagi. Aku benar-benar tidak tahan." Liara merasa begitu berdosa saat ini. Bagaimana bisa dia duduk di atas pangkuan kakak iparnya. Oh, semesta akan menghukumnya.

"Hm ... baiklah. Ron juga masih ada di toilet. Aku ingin menanyakan keadaannya. Menurutmu ada yang salah dengan makanannya? Kalian sakit perut bersamaan."

"Tidak seperti itu. Aku memang sudah sakit perut sejak di pesawat."

"Baiklah. Aku akan kembali ke meja. Cepat kembali jika kau sudah selesai. Dan cuci bersih tanganmu. Kami menunggumu." Dan suara langkah menjauh terdengar. "Aku harus memberikan kalian obat sakit perut," dumel Isla. Mungkin masih menduga restorannya salah.

Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu yang ditutup.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat juga di karyakarsa
Bisa beli pdf di

Sampai jumpa mingdep 😘

Di Ranjang Mantan Ipar (SEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang