Liara menarik tangannya. Membawa pandangan keras kepalanya pada Cameron. "Cam, kita tidak bisa melakukan ini."
"Apa yang tidak bisa kita lakukan?"
"Bertemu seperti ini. Memiliki hubungan yang entah bagaimana pun. Karena saat ibuku tahu kau sama sekali tidak menikah dengan Isla, dia akan sangat terluka. Dan melihatmu akan membuatnya menderita. Jadi aku tidak mau menyakitinya."
"Kau masih saja memikirkannya padahal dia ...." Cameron menahan suaranya. Pandangannya jatuh pada gadis tidak berdosa di hadapannya. Dia tidak mau mengatakan apa yang memang dipikirkan kepalanya saat ini. Karena kalau dia mengatakannya, dia akan menyakiti Liara. Jadi Cameron coba membuat gadis itu tahu, lebih baik dia tahu sendiri dari pada membuat Cameron yang bicara. Liara akan mengerti, Cameron akan membuat itu semua terjadi. "Kau sungguh tidak menginginkan hubungan apa pun denganku?" pria itu memastikan.
"Aku minta maaf, Cam. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun."
"Kau hanya tidak ingin menyakiti mereka yang kau sebut keluarga, sedangkan kau dengan mudah menyakitiku?"
"Bukan seperti itu ...."
"Baiklah, jika kau memang tidak ingin memiliki hubungan apa pun denganku. Aku tidak akan memaksa. Kau bisa pergi. Aku tidak akan menahanmu." Cameron menarik diri. Dia melangkah ke jendela besar ruangannya, meninggalkan Liara dalam tatapan dalam gadis itu yang terluka.
Liara juga tahu kalau keputusan Cameron ini adalah yang terbaik. Dia tidak bisa memberikan Cameron apa yang dia mau, maka Cameron akan mengabaikannya. Bukankah itu memang yang terbaik? Lantas kenapa rasanya berat saat menatap punggung lebar pria itu? Seolah ada sesuatu yang menyuruhnya tinggal dan tidak pergi. Lantas jika dia tidak pergi, apa yang akan dia lakukan di sini?
Dengan kesedihan yang mendalam, Liara akhirnya memilih. Dia berdiri dan mengusap airmatanya yang jatuh. "Aku minta maaf, Cam. Aku harap kau menemukan kebahagiaanmu yang sejati." Dan gadis itu pergi begitu saja dengan langkah kaki seperti terseret berton-ton besi.
Dia bertemu dengan Daniel di luar yang sepertinya menunggu akan seperti apa ke depannya. Saat menemukan Liara dan gadis itu melarikan diri, Daniel hanya menatap dengan desahan.
Daniel masuk dan menemukan Cameron yang sedang memainkan ponselnya. Melempar benda itu dengan kekuatan yang tentu saja tidak memperdulikan ponsel itu akan jatuh dan rusak.
"Bukankah hasilnya memang sudah kau ketahui? Kenapa masih tampak kesal sekarang?"
Cameron benar-benar melempar ponselnya kemudian ke arah lukisan mahal yang terpajang di dinding sebelah kanan. Memecahkan kaca dari lukisan dan tentu saja merusak ponsel yang tampak masih baru itu. "Berengsek, aku harusnya tidak jatuh cinta pada gadis baik," ungkap Cameron. Dia menarik napas dan menghembuskannya. Melakukannya dengan perlahan dan terus melakukannya. Sampai dia bisa menguasai iblis di dalam dirinya yang berpikir untuk menculik Liara dan menyekapnya. Membawanya pulang dan tidak mengizinkannya ke mana-mana. Dia sangat tergoda.
"Bukankah kau mencintainya karena dia memang baik?"
Cameron menatap Daniel memberikan tatapan tajamnya. "Bukankah kau menikmatinya?"
Daniel menatap tidak yakin. "Menikmati apa?"
"Tentu saja melihat aku akhirnya ditolak dengan mentah-mentah. Seumur hidup, ini pertama kalinya aku mendapatkan penolakan. Dan ini benar-benar penolakan dari satu-satunya gadis yang aku inginkan?"
Daniel berusaha menahan seringai. Tapi tidak bertahan lama. Karena pada kenyataannya dia memang menikmatinya. Mereka sangat saling mengenal untuk tahu apa isi kepala satu sama lain. Daniel memasukkan tangannya ke saku celana dan segera duduk lengan sofa dengan gerakan anggun luar biasa. "Kau tahu jawabannya."
"Sialan, ponsel itu harusnya jatuh ke wajahmu."
Daniel mendengus geli. "Katakan, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Bukankah kau lihat sendiri, aku melepaskannya."
"Oh, ayolah, Cam. Ini aku, Daniel. Aku sahabatmu. Aku mengenalmu lebih dari dirimu sendiri. Dan melepaskan sesuatu yang kau inginkan, bukan salah satu sifatmu." Daniel memikirkannya. "Aku tahu kau sedang merencanakan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu. Yang jelas, kau akan membuat dia menjadi milikmu, suka atau tidak."
"Kau memang sangat tahu. Aku bahkan tidak terkejut." Cameron bergerak ke kursinya dan duduk di sana, membuka laptopnya dan mulai melihat beberapa video yang merekam adehan seks seseorang. Tidak ada getaran hasrat melihat rekaman itu, murni seperti dua binatang yang saling melepas birahi. "Video yang kemarin bagus. Kau mengambil di sudut yang tepat."
Daniel bangun dan mendekat. Dia menatap ke arah laptop dan menemukan perempuan telanjang di sana. Dia meringis ngeri. "Apa yang akan kau lakukan dengan video seks itu? Menyebarkannya?"
"Tentu tidak. Menunggu saat yang tepat untuk memakainya." Seringai keji itu tampak.
"Kupikir Liara mengenalmu dengan sangat baik. Tapi apa dia tidak curiga kau melepaskannya begitu saja? Dia harusnya tahu kau tidak akan menyerah sampai kau mendapatkan apa yang kau inginkan. Kau jahat dan jika dia benar-benar mengenalmu, dia harus hati-hati."
"Dia mengenal luarnya Akan kucoba membuat dia mengenal dalamnya. Dia harus masuk ke hidupku apa pun caranya. Karena aku hanya menginginkan dia sebagai istriku."
"Kau yakin bisa melakukannya? Dia tampaknya teguh melindungi keluarganya yang tidak berguna itu."
"Tentu bisa, dengan bantuan seseorang." Cameron menatap penuh arti ke arah Daniel.
"Bantuanku?" Daniel memastikan, dia sampai menunjuk diri.
"Kau dan seseorang."
"Siapa?" wajah Daniel mengerut.
Suara interkom terdengar, "Bos, tamu penting yang anda tunggu sudah datang."
Cameron yang mendengarnya segera dipenuhi dengan kebahagiaan. "Dia tepat waktu." Cameron menekan tombol di sisi kanannya. "Suruh dia langsung masuk. Aku menunggunya."
"Baik, Bos."
"Siapa? Kau membuat aku penasaran."
"Kau akan melihatnya."
Daniel menatap ke arah pintu, menunggu dengan tidak sabar. Dia sampai meremas-remas tangannya karena hati kecilnya mengatakan dia memang juga menunggu sosok ini cukup lama.
Beberapa saat kemudian, pintu diketuk dan segera dibuka dengan pelan. Seseorang masuk dan memberikan senyuman yang lebar ke arah Cameron dan Daniel. Perempuan dengan rambut sebahu dan memakai topi hitam itu melebarkan tangannya dengan suara cerianya. "Aku pulang!" seru perempuan itu dengan suara keras.
Daniel yang melihatnya melongo beberapa saat. Beberapa detik waktu seperti mencuri raganya. Sehingga dia tidak bergerak.
"Tidak senang dengan kepulangan kekasihmu ini, Daniel?" Esme yang memang sudah meninggalkan kota ini dua tahun lamanya akhirnya kembali. Dengan tampilan yang lebih segar dan cantik. Selalu cantik tentu saja.
Daniel terpana dan mematung.
***
Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di akuSampai jumpa mingdep 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ranjang Mantan Ipar (SEL)
RomansaLiara Fisher sangat tahu siapa pemilik hatinya, pria yang dia taksir sejak awal kuliah sampai dia berusia 25 tahun. Pria yang tidak bisa membuatnya membuka hati untuk pria lain, satu-satunya pria yang membawa debar pada jantungnya. Dan pria itu mala...