BAB 9 : Kematian di Depan Mata

10 2 0
                                    

"Bagaimana? Mereka tidak mempermasalahkannya?" tanya Yudha sambil merapikan buku-bukunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagaimana? Mereka tidak mempermasalahkannya?" tanya Yudha sambil merapikan buku-bukunya.

Kelas siang sudah berakhir dengan ketenangan. Meski, tugas dari dosen membuat mereka ingin berontak.

"Mereka tidak masalah. Tapi, aku belum memberitahu mereka alasan kita tidak jadi berangkat," jawab Alan membuat Yudha tersenyum.

"Ayo, ke kantin!" seru Yudha merangkul Alan.

Langit bagaikan kanvas raksasa, dilumuri terik matahari mulai menyapa. Di bawahnya, Yudha dan Alan melangkah beriringan menyusuri lorong-lorong kelas yang lengang. Buku-buku di tangan mereka menjadi saksi bisu petualangan intelektual yang baru saja usai. Jarak kelas dengan kantin memang cukup jauh, namun demi menghemat bensin, mereka memilih untuk berjalan kaki. Menyusuri koridor fakultas lain dan masjid.

Langkah kaki mereka menapaki jalan menuju kantin, oase di tengah gurun ilmu pengetahuan. Di sanalah, aroma masakan menggoda beradu dengan keramaian suara mahasiswa yang menenangkan dahaga perut dan jiwa.

Yudha dan Alan mencari tempat duduk di sudut ruangan, menjauh dari hiruk-pikuk keramaian. Udara hangat menusuk pori-pori mereka, bercampur dengan aroma keringat yang terhapus oleh sapuan angin senja.

"Mau makan apa?" tanya Yudha kepada Alan.

"Terserah kamu," jawab Alan. "Aku lapar sekali."

Yudha melangkah menuju salah satu kedai, memesan dua porsi nasi goreng dan dua es teh manis. Alan menoleh ke belakang, matanya menangkap tatapan bingung orang-orang di sekitarnya. Di tengah gelimang pilihan, Yudha memesan hidangan sederhana.

"Kelas tadi sedikit melelahkan," ungkap Yudha saat ia kembali duduk di sebelah Alan.

"Benar sekali," sahut Alan. "Presentasi teman kita membuat dosen marah besar. Seandainya mereka memahami materi dengan baik, mungkin suasana kelas akan sedikit membaik. Tapi, ya, itu hanya kemungkinan."

"Halo, anak ganteng! Ini nasi goreng pesanan kalian," sapa Mbak Jum, penjual nasi goreng yang mereka pesan.

"Cepat sekali, Mbak," ujar Yudha.

"Iya dong, Lan! Namanya juga nasi goreng express!" ucap Mbak Jum dengan suara genitnya. Tangannya mengelus bahu Yudha yang gagah.

"Kenapa kamu pesan di tempat Mbak Jum, sih!" protes Alan setelah Mbak Jum menjauh dan kembali melayani pelanggan lain.

"Cemburu?" tanya Yudha dengan nada menggoda.

Pertanyaan Yudha membuat Alan sedikit malu. Dia tidak pernah terpikir untuk menggoda adiknya sendiri. Alan mulai menyuap nasi gorengnya, mengabaikan pertanyaan Yudha. Namun, rasa kecewa itu segera sirna saat lidah Alan mencicipi nasi goreng Mbak Jum. Rasanya memang tak tertandingi, jauh lebih lezat dibandingkan kedai lain. Wajar saja, karena hanya kedai Mbak Jum yang menyajikan nasi goreng dengan cita rasa istimewa.

Terjebak [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang