Setelah pergulatan panas di dalam toilet, kini Xavira berada di tengah kerumunan tokoh utama novel: Neia, Blake, dan Helena. Mengapa mereka bertiga ikut pindah universitas dengannya? Xavira hanya bisa menggelengkan kepalanya, merasa tak percaya.
"Mengapa kalian di sini?" tanya Xavira dengan nada ketus. Tatapannya tajam, seolah ingin menusuk mereka satu per satu.
Helena, dengan raut wajah tenang namun penuh dengan kesedihan yang tertahan, menjawab, "Mommy ingin aku akur denganmu." Ekspresinya seolah mengundang simpati, tapi Xavira tahu lebih baik daripada mempercayai topeng kesedihan itu.
Blake, dengan senyuman ramah yang terlihat terlalu sempurna, menambahkan, "Karena kau ada di sini." Dia menatap Xavira dengan tatapan penuh arti, seolah ingin mengingatkan tentang kejadian sebelumnya di toilet. Matanya yang tajam membuat Xavira merasa tidak nyaman.
Neia, dengan wajah tersipu malu dan senyum manis yang terlihat sedikit dipaksakan, berkata, "Karena kau dan Blake pindah ke sini." Ia memainkan ujung rambutnya dengan gugup, menatap Xavira dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Xavira berusaha menahan ekspresinya agar tidak terlihat jijik terhadap Neia. Ia tetap mempertahankan senyuman manis agar tidak mengundang kecurigaan, meskipun ia membenci kedua wanita di hadapannya. Ia tahu, senyuman itu hanyalah topeng untuk menutupi kebenciannya.
"Aku tahu kau merasa terganggu dan terancam dengan kehadiranku di sini, tetapi aku tidak akan memakan sendiri hak waris keluarga kita, Xavira," kata Helena dengan wajah sedih. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, mencoba menunjukkan sikap defensif.
Neia terlihat terkejut mendengar hal itu. Ia menutup mulutnya dengan tangan, menatap Xavira dan Helena bergantian. Matanya membulat, seolah baru saja mendengar rahasia besar yang selama ini tersembunyi.
"Eum, sebenarnya apa hubungan kalian berdua?" tanya Neia dengan rasa ingin tahu yang kuat. Nada suaranya menunjukkan ketidaksabaran untuk mendapatkan jawaban.
"Kepo banget nih cabe," gerutu Xavira dalam hati. Ia melirik sekilas ke arah Neia, kemudian memutuskan untuk membiarkan Helena yang menjelaskan.
Xavira tidak ingin menjelaskan hal yang selalu membuatnya naik darah setiap kali mengingat apa yang orang tuanya lakukan. Ia justru menatap Blake yang tersenyum dingin ke arahnya. Lagi-lagi, Xavira dapat melihat gairah yang membara di mata pria itu. Senyumannya terlihat menakutkan, mengingatkan Xavira akan kejadian panas di toilet.
Pandangannya terputus ketika smartphonenya bergetar. Nama Zhaire Pierce muncul di layar. Ia segera bangkit dan berpamitan sebentar untuk menerima telepon. Langkahnya cepat dan pasti, menunjukkan keengganannya untuk berlama-lama dengan mereka.
"Ada apa?" tanya Xavira langsung, suaranya terdengar tegas namun sedikit gugup.
"Selama ini aku menahannya, kau justru bercinta dengan Blake lebih dulu. Secinta itukah kau padanya?" jawab Zhaire dengan nada sinis. Suaranya penuh dengan ketegangan yang membuat Xavira merasa semakin tertekan.
Xavira terdiam, teringat pada pria psikopat lainnya. Ia tidak menyangka Zhaire bisa mengetahuinya begitu cepat. Kejadian itu belum ada satu jam, dan Zhaire sudah mengetahuinya. Entah dari mana, yang jelas saat ini Xavira enggan untuk menjelaskan. Mereka semua gila, tidak akan menerima alasan apa pun darinya.
"Apa itu cinta?" tanya Xavira, membuat Zhaire terdiam. Suaranya penuh dengan kegetiran dan kelelahan.
"Jelaskan padaku saat kau sudah mengetahuinya," lanjut Xavira. Ia berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya bergemuruh.
Ia menghela napas lelah, merasa keempat orang itu telah merusak suasana hatinya hari ini. Ia melirik bangku taman tempat mereka duduk bersama. Mereka bertiga masih mengobrol, sesekali Blake menatapnya dengan tatapan dingin. Ekspresi mereka terlihat serius, seolah membicarakan sesuatu yang penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hell Transmigration
RomanceAmira Samastia yang terbangun sudah pindah dunia. Saat melihat cermin di kamar luas miliknya, ia melihat sosok yang bukan merupakan dirinya. Sosok perempuan cantik dengan tubuh kutilang, terpampang jelas di hadapannya. Seakan sebuah narasi yang panj...