🔥12🔥

149 7 0
                                    

Tidak ada tempat yang benar-benar tenang untuk Xavira. Kini, wanita itu berada di ruang pemilik kampus, Nicomedes Constantia. Nico menghubunginya untuk makan siang bersama di ruangannya. Jarang sekali ia datang ke kampus, biasanya Nico hanya datang untuk mengecek laporan beberapa kali dalam sebulan.

Nico tersenyum menatap wanita di hadapannya. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan Xavira. Rasa rindu selalu menghantuinya, tetapi ia harus menahan diri karena banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum bisa berpuas diri bertemu dengan penolong hidupnya, Xavira Rosmannace.

Ruangannya dihiasi dengan furnitur klasik yang mewah, meja kayu besar yang penuh dengan berkas-berkas, serta jendela besar yang memberikan pemandangan taman kampus. Di sudut ruangan, terdapat rak buku tinggi yang penuh dengan koleksi buku-buku bisnis dan manajemen.

Xavira duduk di salah satu kursi tamu yang nyaman, menatap sekeliling dengan pandangan malas. Senyumnya tipis dan tidak menunjukkan antusiasme. Ia merasa sedikit terpaksa datang, tetapi ada sesuatu tentang Nico yang membuatnya tetap duduk di sana.

Senyuman Nico tidak pernah luntur saat berbicara dengan Xavira, meski ia melihat senyum malas di wajah wanita di hadapannya. "Bagaimana kabarmu, Xavira?" tanyanya dengan hangat, mencoba membuka percakapan.

Xavira menghela napas pelan sebelum menjawab. "Sibuk seperti biasa, Nico. Banyak yang harus diurus," katanya sambil menyandarkan diri di kursi. Pandangannya tertuju pada pemandangan di luar jendela, mencoba mencari ketenangan dalam kehijauan taman kampus.

Nico mengangguk pelan. "Aku mengerti. Kampus ini juga membuatku sibuk. Tapi, aku selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengan orang-orang penting dalam hidupku," ujarnya dengan lembut.

Xavira hanya mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa. Ada sedikit kehangatan dalam cara Nico berbicara, tetapi ia merasa terjebak dalam rutinitas dan tanggung jawab yang berat.

Xavira hanya mengangguk sedikit, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Apa yang ingin kau bicarakan, Nico?" tanyanya langsung, menunjukkan ketidaksabarannya.

Senyuman Nico tak pernah luntur saat berbicara dengan Xavira, meski ia melihat senyum malas di wajah wanita di hadapannya. "Aku hanya ingin kita bisa berbicara dan menghabiskan waktu bersama. Sudah lama kita tidak melakukan ini," jawab Nico dengan nada lembut, berusaha mengajak Xavira merasa lebih nyaman.

Xavira menghela napas pelan. "Baiklah, Nico. Kita bisa bicara, tapi tolong langsung ke intinya," katanya dengan nada sedikit lelah.

Nico mengerti dan segera memulai pembicaraan yang lebih serius. "Xavira, ada beberapa hal penting yang ingin kubahas mengenai perkembangan kampus. Aku juga ingin mendengar pendapatmu tentang beberapa proyek baru yang ingin aku jalankan," katanya sambil membuka berkas-berkas di mejanya.

Xavira mendengarkan dengan seksama, mencoba fokus meskipun pikirannya masih penuh dengan urusan lain. "Apa saja proyek yang kau maksud?" tanyanya, menatap Nico dengan mata yang sedikit menyipit.

Nico menjelaskan berbagai proyek dengan rinci, mulai dari pengembangan fasilitas baru hingga kerja sama dengan universitas luar negeri. Xavira mendengarkan, sesekali memberikan masukan yang tajam dan tepat sasaran. Meskipun sikapnya terlihat dingin, ia tetap memperhatikan setiap detail yang disampaikan Nico.

Setelah berbincang cukup lama mengenai berbagai proyek kampus, Nico merasakan keinginan kuat untuk lebih dekat dengan Xavira. Ia melihat ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan taman kampus yang indah, lalu kembali menatap Xavira.

"Xavira, bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar di taman? Udara segar akan membantu kita lebih rileks," usul Nico dengan senyum lembut.

Xavira ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, mungkin itu ide yang bagus."

The Hell TransmigrationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang