[13]. Mengetuk Pintu Hati

46 3 0
                                    

Welcome to Chapter Thirteen!
Happy Reading^^

☽☾

Kedua insan yang berbeda gender itu saling diam di ruang keluarga. Mereka sudah dua jam berada di sana.

Sang gadis terlihat berkutat dengan buku-bukunya mengerjakan soal yang diberikan oleh pemuda di hadapannya.

"Belum selesai?" tanya si pemuda yang sedari tadi hanya memperhatikan gadis di hadapannya.

"Menurut lo? Ngasih soal gak manusiawi banget." gerutunya.

"Saya hanya memberi kamu 10 soal, dan kita sudah mempelajari polanya minggu lalu."

"Ya mana gue inget!" sewot si gadis.

"Seharusnya kamu ingat jika benar-benar serius memahaminya." tegurnya.

"Diem ah, berisik. Kepala gue tambah pusing." kesal si gadis.

"Sisa berapa?"

"Tujuh."

"Sudah 1 jam lebih dan kamu baru menyelesaikan 3 soal?" pemuda itu tidak habis pikir.

Pemuda itu merasa lelah menjadi tutornya. Sedari dirinya sampai, gadis itu tidak langsung siap memulai bimbel. Ia harus menunggu selama 30 menit hingga gadis itu keluar dari kamarnya. Hal itu selalu berulang tiap kali akan memulai bimbel. Entah apa yang dilakukan gadis itu hingga selalu mengulur waktu.

"Salah lo kenapa langsung ngasih gue soal. Harusnya lo contohin dulu lah baru nanti gue kerjain." jawabnya santai.

Menghela napas lirih, pemuda itu pun berpindah tempat pada sisi kanan gadis tersebut.

"Mana yang susah?" mendekatkan wajahnya agar mudah melihat buku si gadis.

Sementara gadis itu sedikit terkejut karena pergerakan pemuda itu yang tiba-tiba sudah hampir merapat ke tubuhnya.

"Rora?" panggilnya karena tak kunjung merespon.

Ya, gadis itu adalah Rora.

Masih ingat jika ibunya pernah memberinya tutor?

Meski pada awalnya Rora sempat kabur melarikan diri pada pertemuan pertama mereka. Kemudian dipertemukan secara sengaja oleh ibunya di sebuah restoran.

Di sinilah mereka sekarang. Di kediaman Rora. Hari ini adalah pertemuan mereka yang kesekian kalinya. Rora akhirnya menerima dengan suka rela tutor yang diberikan ibunya.

Bukan tanpa sebab, Rora benar-benar takut segala fasilitasnya dicabut. Rora tidak ingin tiba-tiba menjadi miskin. Membayangkan dirinya tidak bisa perawatan dan bersenang-senang, itu akan menyedihkan.

Setidaknya, Rora membutuhkan harta untuk menjadi hiburannya. Rora dapat pergi kemana pun saat merasa kesepian, tentunya hal itu membutuhkan uang.

Fyuh

Rora menutup matanya kala sesuatu yang hangat menerpa wajahnya. Tak lama ia membuka matanya dan menatap kesal pemuda di sampingnya.

"Ngapain sih niup-niup muka gue? Napas lo tuh bau." Rora memberengut meski sebenarnya ia salah tingkah.

Rora berbohong. Napas pemuda itu justru seperti aroma mint dan manis.

He's so Attractive but He's YoungerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang