Partikel Badai 2

34.5K 1.5K 23
                                    

2

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

2. TRAGEDI MALAM SURAM

Tidak. Matcha tak sebodoh itu untuk mengakhiri hidupnya dengan seutas tali jemuran yang hanya akan mengantarkannya terombang-ambing di alam penantian hari akhir dengan mengantongi vonis mutlak akan kekal di neraka sana.

Ya kali.

Sahut batin Matcha diikuti helaan napas lemah. Harus apa ia sekarang? Uang itu sudah pasti diambil Bapak karena pintu depan masih terkunci seperti biasa apabila muncul dugaan uang itu dibobol maling. Matcha ingat betul, siang tadi, Bapak sempat meminta uang sebesar dua ratus ribu, katanya untuk membayar utang. Namun, ditanyai utang apa, pria itu cuma menerangkan bahwa temannya sudah menanti uangnya dikembalikan. Matcha jelas tak memberikan uang simpanannya sepeser pun karena ia juga akan memakainya esok hari untuk membayar uang kuliah tunggal.

Gadis itu membisu dengan tatapan kosong sebelum suatu ide tercetus di benaknya, yakni mendatangi lokasi bapaknya biasa menumpahkan kegilaan. Matcha berdiri tergesa-gesa keluar rumah tanpa sempat mengunci pintu depan, berganti pakaian, dan tanpa membawa tas berisi ponsel serta dompet. Benar-benar definisi modal nekat dan bawa badan saja. Sudah tak peduli lagi Matcha pada keringat yang mulai melembapi kaus oblong abu-abu lusuhnya. Sebab, yang terpenting malam ini adalah segera menemukan Bapak untuk meminta kembali uang hasil jeri payahnya.

Matcha melintasi gang arah berbeda dari yang biasa dilewatinya. Jika jalan sempit yang sehari-hari dilewatinya mesti berbelok ke kanan, kali ini, langkahnya menyerong ke arah kiri gang untuk menelusuri keberadaan Bapak.

"Aduh!"

Gelapnya gang membuat kaki gadis tersebut beberapa kali tercebur ke kubangan yang masih menyisakan genangan becek berlumpur. Matcha hanya menendang-nendangkan kaki untuk setidaknya menghempas tetesan-tetesan air yang ikut membasahi sendal jepit usangnya. Dalam hati, Matcha harap-harap cemas, semoga sendalnya tidak putus di tengah jalan.

Sepuluh tahun hidup di tempat kumuh itu membuat Matcha sudah lumayan hapal arah lorong-lorong gang. Mungkin memang setiap waktu ada saja yang terperbaharui, seperti rumah gubuk yang berubah jadi lebih layak, sisi pinggir gang yang tiba-tiba dipenuhi pot bekas ember cat, atau gerobak jualan warga setempat yang memejeng di teras—ikut menyempitkan jalanan gang yang bisa mendadak menimbulkan macet semu pada waktu orang-orang ramai berlalu-lalang, apalagi pada pagi dan sore hari.

Warkop Engkong Abdul adalah tempat pemberhentian jelajah Matcha di dini hari. Dari luar, sayup-sayup terdengar lantunan merdu Rhoma Irama yang membawakan lagu "Judi". Gelak tawa dan bantingan kartu lamat-lamat tertangkap oleh kedua kuping Matcha. Dengan dada yang sudah naik turun tak terkontrol saking emosinya, Matcha langsung mendorong pintu bambu kecokelatan warung tersebut, membuat seorang pria berbadan kurus kerontang dengan rambut putih cepak yang tengah berbaring di kursi kayu seketika berjengit saat mendengar pintu warungnya di dorong dari luar tanpa permisi.

"Loh, ada apa?" Engkong Abdul terduduk belingsatan.

Napas Matcha masih berlomba keluar masuk melewati hidung sekaligus mulut.

Partikel Badai Mars #BukanTentangPlanetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang