Partikel Badai 3

30.7K 1.4K 14
                                    

3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

3. BAJINGAN ITU BERNAMA HILARIO

Hantaman pukulan dan dentuman lemparan benda kayu pelan-pelan mengusik tidur seorang gadis yang tubuhnya setengah telanjang. Hidungnya mengendus campuran bau tak sedap. Perlahan, kelopak mata lelah itu terbuka dan mendapati dirinya berada dalam ruangan asing. Gadis tersebut menyelingar kiri kanan, lalu hawa dingin terasa di bagian perut hingga pahanya yang amat nyeri. Ritme jantungnya memacu cepat ketika melihat penampakan pakaiannya telah berantakan dan tidak terpasang sesuai tempatnya. Baju kaus kedodorannya tersingkap sampai bagian dadanya terpampang, kaitan bra yang sudah terlepas dan berpindah ke atas tulang selangka. Yang lebih gila, celana kulot murahannya telah turun, berpindah ke bagian lutut, berikut dengan dalamannya. Bau amis yang hidungnya cium berhasil menambah tempo debar jantungnya hingga semakin menggila seiring ketakutan yang menguasainya. Matcha sadar betul, ada yang telah terenggut dari dirinya.

"Dante, bangun, woyyy! Hilario kabur!"

Grasak-grusuk terdengar dari luar, Matcha dengan gemetar berusaha bangun dan segera memperbaiki posisi pakaiannya menjadi lebih layak. Bersamaan dengan celananya yang sudah terpasang baik di pinggang, pintu ruangan itu terdorong dari luar, menampakkan dua orang pria yang salah satunya memandang Matcha nyalang dengan emosi mendidih, satunya lagi sedang mengucek mata, terlihat masih menahan kantuk.

"K-kalian siapa?" Ketakutan Matcha semakin berada di ambang batas. Bagaimana tidak, pemuda asing dengan terang-terangan menatapnya seolah siap dikuliti hidup-hidup.

"Lo nggak perlu tahu," jawab pria beraut garang itu.

Untuk sesaat Matcha membisu gelisah memeluk tubuh, lalu ditatapnya lagu dua orang yang berdiri di batas pintu.

"Kenapa gue di sini? Kalian udah apa-apain gue, kan?!" tuduh Matcha begitu saja.

Salah seorang pria menyeringai ringan. "Wah, lo pengin diapa-apain juga sama kita?" Kemudian lengan lelaki itu dipukul oleh temannya.

"Anjir, ini sih cewek waras yang lo tarik, Dan."

"Rex nggak akan peduli itu," jawab Dante dengan senyum culasnya sebelum kembali menutup pintu, bergegas menelepon Rex untuk memberitahukan bahwa tawanan utama mereka berhasil kabur, tetapi menyisakan satu boneka yang bisa dijadikan umpan dahsyat di kemudian hari.

Matcha yang mendekam di tempat asing itu jelas tak bisa menahan ketakutan. Pandangannya kembali menjelajah tembok-tembok ruangan yang sama sekali tidak memiliki jendela satu pun. Hanya susunan ventilasi kecil yang berhasil menyelundupkan cahaya ke dalam ruangan. Kepala Matcha lantas berdengung pusing, tak paham dengan situasi yang menderanya saat ini. Uangnya dirampas oleh Bapak, diculik tiba-tiba oleh entah manusia dari mana, lalu ... nyeri yang terus menjalar di pusat tubuhnya sudah sangat membuat Matcha yakin, seseorang telah mengambil kesuciannya dengan paksa. Namun, siapa pelakunya?

Belum sempat Matcha meredakan kecemasan, dua orang tadi kembali menampakkan diri.

"Lo pengin tahu, kan, siapa yang udah perkosa lo?"

Matcha membeku dengan napas yang tertarik menyesakkan.

Dante mengulurkan sebuah kartu yang berisi foto seorang lelaki dan beberapa keterangan lain. Kartu tersebut hanya tertahan di udara karena Matcha tak kunjung menerimanya. Oleh karena itu, Dante langsung melemparkannya begitu saja hingga kartu kecil tersebut mengenai kaki Matcha.

"Hilario Jarvis Zachary. Lo cari aja alamat yang tertera di situ. Dia yang udah make lo semalam dan bikin lo ada di sini," jelas Dante begitu tenang. "Kok lo diam? Lo nggak mau minta pertanggungjawaban tuh bajingan? Gue bisa bantu lo dengan bukti CCTV di atas kalau Hilario ngelak." Kali ini Dante menunjuk kamera yang terdapat di salah satu sudut ruangan, tepatnya di sisi atas pintu.

Penjelasan itu ... Matcha tetap tak mengerti. Apa motif lelaki itu memerkosanya? Dia bukan orang penting, anak muda hits pun bukan. Pacaran saja Matcha belum pernah seumur hidupnya, lalu tahu-tahu seseorang tiba-tiba memerkosanya?

"Bangun. Kami masih berbaik hati pengin antar lo pulang. Ayo keluar." Dante mengedikkan dagu menunjuk ke luar.

Kesempatan itu jelas tak disia-siakan oleh Matcha untuk segera bergegas meninggalkan tempat terkutuk tersebut. Matcha cukup kesusahan untuk berdiri, nyeri di inti dirinya masih begitu hebat. Namun, rasa sakit itu berusaha ia telan mentah-mentah agar tak mendekam lebih lama dalam hawa mematikan.

Matcha diantar pulang oleh dua lelaki itu menggunakan mobil hitam. Sampai di depan gang kawasan tempatnya tinggal, Matcha meminta mobil itu berhenti.

"Di sini aja," ucap Matcha dengan suara dingin bercampur takut.

Dante menurutinya. Sebelum membuka akses kunci pintu belakang, Dante mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah amplop cokelat tebal yang entah berisi apa di dalamnya. Tanpa aba-aba, pria itu melemparkan amplop tebal tersebut ke belakang dan jatuh tepat di pangkuan Matcha.

"Itu bayaran dari Hilario. Dan ini―" Setelahnya, Dante mengulurkan selembar kertas berisi nomor. "Lo bisa hubungin gue kalau Hilario nggak kooperatif. Gue akan bantu lo balas dendam."

***

Matcha berjalan tertatih melewati gang menuju rumahnya. Beberapa pasang mata sempat menatapnya aneh, ada pula yang terang-terangan memandang Matcha sinis dan menyoroti langkah kakinya yang sedikit mengangkang ketika menyeret kaki. Matcha sudah tak berdaya untuk memedulikan itu semua. Akal sehatnya sudah telanjur dipaksa mati, hanya lubang menganga yang mengisi kekosongan jiwanya.

"Dari mana kamu?!"

Bentakan itu datang begitu saja ketika Matcha tiba di rumah. Djamal meletakkan gelas aluminium berisi kopi hitam panas yang baru dibuatnya.

"Sejak kapan Bapak peduli sama jam pulangku?"

Matcha hanya melirik bapaknya sekilas sebelum masuk ke kamar, tak lupa ia mengunci diri di dalam sana. Diletakkannya amplop cokelat pemberian pria asing tadi di atas tempat tidur, Matcha segera mengeluarkan isinya yang ternyata berupa segepok uang merah yang disertai jumlah nominal yang tertera pada kertas yang mengikat uang tersebut. Sebesar sepuluh juta, hampir setara dengan biaya kuliahnya sampai lulus. Namun, jumlah itu sudah tak ada lagi artinya bagi Matcha. Uang haram hasil gadai kehormatannya itu tak bisa membayar segala kehampaan yang menggerogoti jiwanya.

Pada hari itu, Matcha tak melakukan aktivitas apa pun. Tidak berangkat ke bank yang berafiliasi dengan kampusnya untuk melunasi uang kuliah tunggal semester empatnya, absen dari pekerjaan yang jadwalnya telah berhasil ditukar menjadi shift kedua, mengisi daya ponselnya yang telah mati total pun tak sempat Matcha lakukan. Zona waktu di hidup Matcha seolah ikut terhenti, bersamaan dengan ambisinya yang perlahan menguap tanpa arti. Wanita tersebut tergeletak lunglai di atas tempat tidur, bersampingan dengan bundelan uang sepuluh juta yang terabaikan begitu saja.

*** 

Pendek yaaa hahaha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pendek yaaa hahaha.

Tenang, entar malam up lagi kok. See u gesss!🧚‍♀️

Partikel Badai Mars #BukanTentangPlanetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang