Partikel Badai 7

58.8K 3.1K 210
                                    

7

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

7. MATCHA SI PENENTANG ULUNG

"Aku perhatiin, kayaknya kamu makin jarang nginap di asrama," kata Nala ketika mobil Hilario berhenti di parkiran gedung bertuliskan Asrama 665 Pakubandanu.

Hilario menoleh pada gadis yang baru saja melepas kaitan sabuk pengaman. "Mau gimana lagi, kerjaanku di luar makin hectic, La."

Nala mengangguk saja, berusaha paham walaupun sebenarnya di butuh penjelasan rinci dari Hilario. Gadis itu turun dari mobil sebelum Hilario sempat mengelus puncak kepalanya, seperti yang biasa pria itu lakukan.

"Hati-hati. Nyetirnya nggak usah ngebut-ngebut," ucap Nala sebelum ia menutup pintu mobil.

Selanjutnya, kaca pintu itu bergerak turun, menampilkan raut bersalah Hilario. "Maaf, ya." Hanya itu yang Hilario katakan. Nala hanya mengetahui Hilario yang bekerja di salah satu anak perusahaan Pakubandanu Group yang bergerak di bidang Fast Moving Consumer Goods, bukan sebagai anggota sebuah badan intelijen swasta yang menangani kasus apa saja yang berikan oleh klien.

Nala menghela napas, tetapi senyum manisnya kemudian muncul karena mengingat momen membahagiakan yang telah mereka lewati di Malang. "Makasih udah ajak aku jalan-jalan sama keluarga kamu. Jujur, sih itu bakal jadi kenangan yang berharga buat aku."

Tiga hari bergabung dalam perjalanan keluarga Hilario membuatnya turut merasakan sebuah kehangatan keluarga utuh―hal yang sebenarnya telah lama tak Nala rasakan lagi sejak ayahnya berpisah dengan ibunya yang kini menetap di Berlin bersama keluarga barunya.

"Lain kali kamu harus ikut lagi, ya? Gimana?" tanya Hilario dengan alis naik-turun.

Namun, Nala justru berdecak. "Jangan cuma semangat liburan aja kamu, kuliahnya juga yang rajin, dong. Udah semester lima loh kita."

"Gampang itu, La." Hilario mengangkat bahu santai.

"Sombong banget."

"Harus sombong biar kamu naik darah."

Nala menjulurkan lidah. Saat wanita itu telah masuk ke gedung asrama, Hilario pun bergegas meninggalkan area kampus untuk segera menuju markas besar Mandalika yang kebetulan berada di area pusat kota di antara banyaknya gedung-gedung tinggi yang cukup mentereng. Markas besar Mandalika tersembunyi di belakang gedung tinggi sebuah perkantoran milik Cakrabirawa Group. Untuk memasuki kawasan Mandalika, para anggota akan melewati area bawah tanah parkiran Cakrabirawa sebelum tembus di gerbang besi pembatas antara wilayah Cakrabirawa dan Mandalika.

Pagar besi itu langsung dibuka begitu mobil Hilario datang. Berbagai mobil mewah telah terparkir di bagian depan pintu masuk lobi Mandalika. Hilario melangkah panjang memasuki lorong bernuansa hitam tersebut dan masuk ke bilik elevator yang akan membawanya ke lantai dua bawah tanah, ruangan besar yang penuh aspirasi dari para anggota Mandalika.

Keluar dari elevator, Hilario masih harus membuka pintu lagi menggunakan kartu akses yang hanya dimiliki oleh anggota Mandalika saja. Segera lelaki itu mendekatkan kartu miliknya di sebuah sensor khusus, lalu terdengar bunyi nyaring yang menandakan pintu sebentar lagi akan terbuka. Tak lama, pintu terbuka dan tampaklah aktivitas kawan-kawan Hilario yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang benar-benar sibuk bekerja, ada pula yang hanya ongkang-ongkang kaki bermain game online. Semua aktivitas itu dilakukan di meja yang melingkar lebar di sisi-sisi ruangan berbentuk bola tersebut, beberapa bagian tembok diisi oleh layar lebar yang tersambung dengan perangkat komputer yang merupakan salah satu alat tempur yang digunakan para anggota Mandalika untuk mengupas kasus demi kasus yang akan ditangani. Mulai dari melacak keberadaan seseorang, menelusuri data privasi, atau hal lain yang berkaitan dengan pengumpulan data-data target. Skill secara fisik dan otak menjadi perpaduan yang harus dimiliki oleh anggota Mandalika.

Partikel Badai Mars #BukanTentangPlanetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang