01| Tampak biasanya.

297 31 38
                                    

Entah sudah keberapa kali gelak tawa terdengar di teras rumah bercat putih itu. Meskipun hanya ada tiga bujang yang sedang duduk santai saja, disana. Ada yang sedang menikmati sore di desa yang terbilang cukup asri, sembari melempar candaan atau tingkah jahilnya. Ada yang sedang melawan sebagai korban yang ternistakan tingkah iseng, mereka. Dan ada pula yang sesekali sibuk mengecek ponsel, sembari menyimak pertikaian kecil didepannya.
Intinya, riuh suasana di temani jingga sore itu disebabkan oleh mereka bertiga.

“Ya lo itu monyetnya!!” Ujar yang paling muda, sambil melempar kulit kacang asin yang sedang dinikmati, pada yang lebih tua.

“Ren!! Jijik goblok, nyet!!! Ga usah lempar kulit kacang yang lo buka pake gigi berjigong lo itu ke gue ya!!!” Mata bulatnya melotot melihat tingkah bocah itu.

Dia tak sadar yang paling tua kini sedang memandang tajam kearahnya setelah dari tadi membiarkan dia ribut dengan bocah itu.

“Mahen! Omongan lo bisa dijaga nggak?” tegur yang paling tua, pada yang tengah.

Melihat sang kakak  sedang serius menegurnya, Mahen; si putra tengah, sebenarnya merasa sedikit gentar, tapi dia punya alasan kuat mengapa dirinya berkata demikian. Dia juga tidak terima disalahkan sepihak.

“Ya lo liat dong, Gala! Tuh!!! Kulit kacangnya kena muka gue!” Mahen menunjukkan kulit kacang yang adiknya lemparkan tadi sebagai bukti ke pada kakaknya.

Gala lantas menghela nafasnya panjang, melihat tingkah Mahen yang ada-ada saja.

“Cuma kulit kacang doang, nyet!! Lebay banget lo, ya!” tukas Gala.
“Kulit kacangnya basah, kena ludah, terus kena muka ganteng gue!!!” Sekali lagi Mahen menunjukkan lebih dekat kulit kacang itu dihadapan Gala.

Sang pelaku tersenyum, bola mata sipitnya bahkan hampir tertelan sempurna oleh kelopaknya. Dia yang sedari tadi menyimak saja pun akhirnya bersuara lagi, setelah terkekeh mendengar perkataan kakak keduanya.

“Ini nih, efek buruknya monyet keseringan dikasih kaca. Jadi terlalu PeDe,” ujarnya.

“Lo juga jangan gitu, Birendra! Lo ih! Jorok banget tau! Ga sopan, Bi!” sahut Gala.

Mendengar teguran itu, yang termuda pun menekuk wajahnya. Bibirnya mengerucut dan alisnya mengkerut.

Tck!” Decak Birendra, “salah dia noh! Ngeledekin mulu, gue terus disalah-salahin!” ujarnya sembari angkat kaki dari sana, meninggalkan abang-abangnya dengan rasa kesal.

“Ye ngambek!! Ambekan! Baperan!” teriak Mahen yang tak dihiraukannya.

Melihat bagaimana Ren tak menggubris, mereka berdua hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Saling pandang seolah tatapan mereka saling melempar tanya.

“Lo sih!” tuduh Gala.

Mahen lantas mengangkat alisnya, matanya melotot seolah  tak terima.
“Lo ya yang marahin dia! Nyalahin gue lo!”

“Ya kan gara-gara lo juga yang nyari perkara sama adek!”

“Dia duluan yang nyenggol gue, Bang! Giliran di bilangin gitu aja ngambek! Baperan!”

“Ya lo harusnya ngga sampe segitunya, Nyet! Tau sendiri adek Lo masih 16 tahun! Dia  itu masih labil! Wajar dia gampang kebawa perasaan dan masih belum bisa kontrol emosi!"

“Ya tapi kan—“

“Hen, lo nggak perlu debatin ini sama gue! Kalo nanti malem lo masih pengen selamat! Mending lo minta maaf sono ke adek! Jangan sampe Ayah sama Bunda tau! Kalo lo nggak pengen tiba-tiba di coret dari Kartu keluarga!” Suruh Gala, memotong protes Mahen yang belum terucap sepenuhnya.

Adiyaksa's PrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang