Matanya menyipit, senyum kotak yang khas itu seketika muncul saat dia melihat kedua adiknya beradu mulut kesekian kalinya pagi ini. Setelah beberapa diantaranya terjadi secara tertutup, dan kali ini mereka seolah tak peduli meskipun pemimpin keluarganya sudah memantau.
Rasanya lucu sekali, melihat yang satu ada-ada saja, dan yang satu lagi juga tak mau kalah. Tapi, justru karena ada mereka, sisi dingin lelaki ini selalu lebur di rumah.
Selain itu, karena mereka pula suasana sarapan menjadi selalu diisi dengan hangat yang tidak bisa ditemukan di rumah lain yang tak beruntung. Pun, dia tak tahu sampai kapan keberuntungan ini bertahan, yang jelas jika boleh berharap, maka bertahanlah selamanya.
"Udah sih, Hen! Lo ngalah gitu sama gue!"
"Enak aja! Semalem juga gue udah ngalah ya sama lo, Nyet!!"
"Ya lo tuh jadi orang ngga boleh pelit! Bagi gue satu lagi kek?! Ya, kan, Gal?!" tuntut yang termuda mencari validasi.
Gala hanya terkekeh kecil sambil menggeleng kepala, melihat kedua adiknya dari tadi ribut sembari berebut perkedel yang Bunda siapkan.
"Jangan merenges-merenges aja lo, Gal?! Bener, kan?" desak Ren dengan kesal.
Gala pun terdiam saat Ren membawa namanya, kedalam perseteruan itu. Bahkan didepan Ayahnya tanpa tata Krama dia meminta pembelaan.
" Ngelunjak lo sama gue? Malah minta pembelaan lagi!" Jawab Gala sembari melirik-lirik Ayah yang sudah berubah ekspresi.
Sesekali mata Gala melotot memberi Ren peringatan. Beruntungnya anak itu segera sadar. Wajah adik kecilnya itu, terlihat sedikit kaget, kemudian pandangannya turun setelah mengerti kode mata dari Gala.
"Ya- ya - tapi bener, kan, Bang?" cicit Ren sembari melanjutkan perkataannya.
Sungguh, melihat anak itu menciut nyali malah membuat Gala ingin sekali tertawa. Tapi, itu hal yang mustahil dilakukan sekarang pastinya.
"Eh, tapi semalam bunda udah bilang jatah perkedel pagi ini buat gue! Ya, kan, Bun?" sela Mahen tanpa tahu suasana.
"Udah?" tegas Ayah langsung membuat Mahen juga ikut terdiam setelahnya.
Seisi ruang makan kini berganti suasana tegang kala Ayah telah berganti ekspresi di wajah tegasnya.
"Kalian berdua nggak pernah berhenti ribut masalah perkedel. Kalo ribut terus, besok bunda ngga usah siapin perkedel lagi. Pakai tahu dan tempe aja."
"Siap Ayah!" jawab Bunda.
Kemudian, Mahen dan Ren langsung mengangkat pandangannya. Jelas alis mereka berdua berkerut dan bibirnya mengerucut. Pertanda mereka tak menyetujui perkataan Ayah.
"Ayah mah, mainnya ngancam gitu..." protes Mahen.
"Iya nih, aku, kan, nggak suka tahu, Ayah! Kalo diganti daging mah mending, lah ini malah diganti tahu. Bukannya meningkatkan gizi malah mengurangi gizi!"
Pokoknya urusan protes Mahen tak pernah absen. Tapi, urusan menohok perasaan, Ren jagoannya. Gala hanya terdiam. Dia tak mau ikut berpendapat lebih. Toh, tak masalah juga bagi Gala, mau perkedel, tahu, tempe, itu sama saja.
Lagipula, diusia sekarang, mana main untuk Gala mempermasalahkan hal seperti itu?
"Kata siapa tahu nggak ada gizinya? Kamu nggak cukup belajar di sekolah atau gimana? Mau ikut les aja? Biar tambah pinter," jelas Ayah.
"Ih, Bun! Ayah tuh, Bun! Ah! Baperan! Malesin!" rengek Ren pada Bunda.
Lantas Bunda hanya tersenyum. Dia melirik ke arah Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiyaksa's Pride
FanfictionDi kampung ini, siapa yang tidak mengenal Adiyaksa's Pride? Para pemuda dengan karakter yang berbeda, menjadi kebanggaan sepasang suami-istri dengan adanya mereka. Tapi siapa yang tahu bagaimana kehidupan mereka sebenarnya?