16| Salam terakhir.

188 23 73
                                    

Dihari yang kelabu, dibawah langit yang tak lagi biru. Mereka yang telah melayat mengantar Ren sampai tempat pulangnya yang abadi, berpamitan pergi.

Menyisakan Adiyaksa sekeluarga. Disana, Bunda sudah lemah terkapar menangisi kepergian anak bungsunya. Pun ayah yang bermata sembab, dan berantakan meskipun mati-matian untuk terlihat baik-baik saja.

"Kenapa sih Bibi tega pergi duluan ninggalin Bunda? Bunda ada salah ya sama, kamu Bi? Apa masakan Bunda kurang enak? Apa Bunda pernah bilang sesuatu yang Bibi nggak suka? Bilang, Dek! Bunda.... Bunda nggak mau ditinggalin bungsunya Bunda... " racau Bunda memeluk nisan Ren dengan tangis yang tak henti-hentinya.

Disana pula, Mahen menangis di samping Gala.

Mahen hancur sehancur-hancurnya. Dia tak menyangka jika pertengkaran itu menjadi salam perpisahan dan jumpa terakhir dengan adiknya. Dia menyesali karena tak mengikuti saran Gala untuk memperbaiki semuanya lebih cepat.

Jika dia bergerak sedikit lebih cepat, mungkin Ren masih di hadapannya sampai saat ini.

Terlebih lagi, tanpa berpamitan anak itu pergi dari kehidupannya. Menyisakan rasa bersalah atas luka yang pernah di toreh saat pertengkaran terakhir kalinya.

Saat itu Mahen ikut bersimpuh di dekat pusara, menangis terisak tanpa malu.

"Sorry..... Sorry... Maafin gue, Ren! Maaf gue udah jadi abang yang buruk buat lo! Gue minta maaf buat segalanya yang udah gue lakuin sampai lo sakit! " tiba-tiba  Mahen berucap dengan lirih berjongkok di depan pusara.

"Maksud kamu, Hen? " tanya Bunda bingung mendengar perkataan Mahen.

"Aku sempet berantem sama dia sebelumnya Yah, Bun, dan kelepasan marahin dia. Bilang hal yang nggak seharusnya aku bilang.... " Mahen menjatuhkan pandangan dengan isak kecik terdengar keluar dari mulutnya, "maaf, Yah, Bun.... Maaf Mahen udah jadi abang yang buruk buat dia... "lanjutnya.

Mahen seperti sudah bersedia mendapatkan segala hukuman saat mengakui pertengkaran itu.

" Hen, ayah juga ada kesalahan ke dia. Nggak pantes kamu minta maaf ke Ayah yang bahkan juga nggak bisa kasih contoh yang baik buat lindungi dia, " jawab Ayah, alih-alih marah, Ayah justru ikut menyalahkan dirinya sendiri.

"Yah, Bun, Hen. Aku tau kita sama-sama kehilangan. Gala juga sama hancurnya pas lihat adik yang aku jaga selama ini malah harus berpulang duluan. Tapi, penyesalan sekarang juga nggak akan merubah apapun, " sela Gala.

"Maafin Ayah ya karena ayah mungkin gagal jadi ayah yang baik buat kalian," ucap Ayah sembari mengusap airmata yang turun dari sudut matanya.

"Maafin kita juga, Yah.  Mungkin kita masih belum bisa banggain Ayah sama Bunda, " tukas Gala mewakili adiknya.

"Nggak sayang, kamu, Mahen, juga Bibi selamanya akan selalu jadi kebanggaan Ayah dan Bunda. Ada atau tanpa prestasi apapun. Tapi, buat kehilangan Ren Bunda nggak bisa, "

Setelah itu Aksa beserta dua putranya bergerak mendekat dan merapat. Mengeratkan pelukan saling mengukuhkan bahu.

Sejenak Bunda direngkuh Aksa beserta kedua putranya. Dan saat itu tidak ada lagi Ren diantaranya. Hal itu membuat Tara kembali mengalami sesak karena terlalu tak rela. Hingga akhirnya dia tidak sadarkan diri.

Sempat membuat tiga lelaki disana panik, meskipun tubuh Tara berhasil ditangkap oleh mereka.

"Bunda.... " Panggil Gala.

Tapi nyatanya Bunda tidak merespon panggilannya.  Kondisi Bunda sepertinya terlalu lemah sampai Bunda  terkulai lemas di pelukan erat Ayahnya.

"Bunda kayaknya harus dibawa pulang," ujar Ayah menahan tubuh Bunda.

Adiyaksa's PrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang