04| Pemilik Hidup Yang Sempurna.

148 23 62
                                    


Hancur, dari beberapa hari lalu mood seorang remaja ini hancur. Sudah suasana hati yang sedang tak baik, rupanya di dalam keluarganya juga sedang berada dalam kondisi yang kurang mengenakkan. Sejak tadi pagi.

Entah ada kejadian apa yang kemarin malam, yang tak Ren ketahui. Yang jelas semuanya seolah memperkeruh suasana hati Ren saja.

Ada rentetan hal yang merangsek dan menjadi penyebab rusaknya mood Ren tentunya. Sampai saking penuhnya isi kepala, Ren merasa sedikit pening. Dia memilih untuk merebahkan diri di kamar dan meninggalkan ruang tengah dimana keluarganya sedang berkumpul dengan cara yang dia tahu pasti itu kurang sopan.

Tapi Ren tak peduli. Justru semakin lama Ren di sana, semakin sulit Ren mengendalikan emosi dan keadaan. Dan mungkin akan lebih fatal juga akibatnya.

Bagaimana tidak? Telak di sana Ren dibuat tak berdaya dengan rasa iri dan minder melihat saudara-saudara kandungnya saling beradu prestasi di depan orang tuanya. Sedangkan dirinya? Tak bisa membawa apa-apa.

Entah harus menyalahkan siapa, keadaan atau takdir, atau mereka semua? Ren tahu lagi, rasanya semuanya terasa menjengkelkan.

Heran, jika ada yang mengatakan hidup Ren itu begitu sempurna, lantas salahkah jika Ren muak mendengarnya?

Sesekali, lihatlah apa yang Ren rasakan. Sesekali coba telusuri lebih dalam hal yang tidak Ren ungkap dengan gamblang. Sesekali coba tanyakan adakah penyesalan di hidup Ren yang mereka anggap sempurna.

Maka, dari situ mungkin mereka akan tahu bahwa hidup Ren tak senikmat itu. Tak segampang dan seindah yang mereka bayangkan.

Jika benar hidup Ren se-menyenangkan itu, mungkin tak akan ada rasa sepi yang diam-diam bersemayam di relungnya. Tak ada iri yang terbelenggu di hatinya. Tak ada rasa 'insecure' yang tumbuh seiring berjalannya usia. Dan tak ada rasa terkekang yang cukup memuakkan dan menyiksa.

Ren jadi tersenyum sendiri sembari memijat pangkal hidungnya, dalam rebahnya memandang langit-langit kamarnya. Saat semua hal itu terlintas di otaknya, itukah yang mereka anggap sempurna? Kalau seandainya benar hidupnya sempurna, maka rasa jengkel seperti sekarang juga tidak akan pernah dia rasakan.

"Konyol banget," gumamnya diakhiri tawa getir.

Mereka tidak tahu rasanya tak diinginkan atau tertolak oleh keluarganya tanpa sadar. Seperti saat Ren ditinggal sendirian oleh Gala kemarin sore, dan lebih memilih mengajak Mahen saja untuk pergi. Bahkan tadi sore saja Gala secara khusus mengajak Mahen untuk ngopi bersama. Pun, sejak dari dulu Gala selalu memilih Mahen untuk menemaninya kemanapun, dari pada dirinya. Entah alasan kesehatan Ren, atau alasan lainnya. Intinya, perasaan semacam ini, kadang membuat Ren merasa Gala jelas tak pernah menyukai kehadirannya di dunia ini, seperti dia menghargai Mahen. Ren merasa benar-benar tersisih. Rasanya, seperti adik yang tak pernah diinginkan. Bukan, bukan Ren melebih-lebihkan perasaannya atau mendramatisir keadaan tapi seandainya mereka tahu betapa sesaknya menghadapi hal ini.

Kalau itu tak cukup, untuk membuat mereka mengerti seperti apa hidup Ren sebenarnya. Mungkin mereka juga tak tahu rasanya menemukan keadaan rumah yang kosong dan sepi setiap pulang sekolah, tanpa keluarga yang menyambutnya. Dibiarkan menikmati sunyi sampai malam menjelang dan mereka baru sempat beristirahat dari sibuknya urusan mereka.

Atau barangkali, menghadapi kenyataan betapa sulitnya terlahir sebagai manusia yang gagal dikala saudara yang lainnya bisa bersinar begitu terangnya.

Pernahkah terlintas pemikiran itu?

Ren menyampingkan posisi rebahnya. Membiarkan setitik bening bulir air matanya jatuh membasahi bantal yang menjadi saksi bisu beratnya luka yang dia bawa.

Adiyaksa's PrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang