10|Petaka!

151 24 37
                                    

Sore itu matahari bersinar memantulkan cahaya jingga. Mahen sempat menikmatinya sejenak, di parkiran saat hendak bertandang pulang setelah latihan basket.

Mahen itu bukan anak pecinta senja. Tapi, sore itu.... Rasanya dia  benar-benar mengakui bahwa langit sore itu berhasil memikat perhatiannya.

Dibalik tenangnya memandang jingga di atasnya, diam-diam otaknya berkelana memikirkan cara menyampaikan pada Ayah perihal pertandingan esok yang tadi sempat di bahas oleh ketua team basketnya. Bukan hal yang berlebihan jika Mahen berpikir tentang hal itu, sebab bukan pertama kalinya juga Mshen mengundang Ayah untuk bisa menyaksikan dia bertanding dan menunjukkan kelebihannya. Tapi, sampai sejauh ini, Ayah selalu mangkir dengan berbagai alasan, atau paling besar Ayah berusaha, dia hanya bisa datang saat Mahen sudah selesai bertanding. Untuk kali ini, Mahen tak ingin kecewa kesekian kalinya.

"Hen! " Seseorang tiba-tiba menarik kesadaran Mahen.

Sedikit terkejut, Mahen menoleh dan mendapati Rafli— ketua team basketnya, sudah berdiri di belakangnya.

"Eh! Gimana, Raf? "

"Ini! Gue tadi pinjem charger, kan? Lupa lo? " Rafli menyerahkan charger Mahen yang terlupakan.

"Iya lupa gue, " Mahen menerimanya.

"Thanks ya!"

"Yoi? " Mahen menaikkan kedua alisnya.

Tiba-tiba, Rafli menepuk bahunya.

"Istirahat! Besok kita harus tampil maksimal. Karena kita ini dapetin tiket buat lolos seleksi pertandingan ini tuh susah banget! Untungnya kita bisa menang pertandingan kemaren. Jadi kita dipilih buat wakilin daerah ini untuk pertandingan  ini. Pertandingan ini bakal bawa kita ke putaran perempat final. Jadi, kita harus tampil maksimal."

Mahen pun tersenyum, sikap Rafli yang berbeda dari biasanya membuat Mahen pun ikut serius menanggapi.

" Iya, Pak Ketu! "

"Ya udah hati-hati! Ajak keluarga lo buat kasih dukungan! Ajak orang spesial juga boleh! Biar gue ngga terus- terusan liat lo sendirian terus," kekeh Rafli.

Meskipun Mahen saat itu tersenyum, tapi dalam hatinya jelas memikirkan kalimat Rafli dengan mendalam.

"Siap! "

"Ya udah, gue ambil tas gue. Tadi buru-buru ngejar lo soalnya, gue sampe lupa bawa tas. Kan, gue mau pulang juga, " pamit Rafli.

"Sip lah! "

★★★★

Benar kata orang, katanya makan malam adalah waktu paling tepat dan paling bermakna di keluarga. Sebab saat itulah semua berkumpul. Dan mereka bisa saling berbagi cerita, tanpa ada keperluan lainnya.

Itu kenapa, Mahen memilih membicarakan tentang lomba yang akan di adakan besok kepada Ayah dan keluarganya.

Mahen sempat menarik nafasnya, kata-katanya sudah dia persiapkan sebaik-baiknya sebelum terucap. Tidak seperti biasanya. Niatnya semakin mantap untuk berucap saat Ayah dan Bunda sudah menyelesaikan makannya. Meskipun Ren dan Gala masih sibuk mengunyah makanan.

"Yah, "

"Iya," Ayah langsung menatapnya, membuat Mahen gugup.

"Besok ada tanding basket, tingkat daerah. Masuk perempat final. Ayah dan Bunda bisa dateng? " Mahen berusaha mati-matian berbicara dengan jelas dan benar.

Ayah sempat terdiam, dia terlihat masih menimbang keputusan meskipun dia sibuk memutar gelas digenggaman tanpa  tujuan.

"Ayah besok ada penutupan buku. Memang jam berapa? " jawab Ayah.

Adiyaksa's PrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang