12| Siapa Yang Bersalah Sebenarnya?

132 26 50
                                    

Mahen terlihat suntuk dan murung seharian ini. Bahkan di meja makan yang hanya diisi oleh dia dan Sintya benar-benar diselimuti senyap diantara keributan kantin yang mengusik telinga.

Mahen yang sedang enggan berbicara banyak, sedang Sintya yang juga terlihat begitu muak. Keduanya hanya sibuk dengan minuman dan makanan masing-masing, meskipun tidak berselera.

Semalam suntuk Mahen tidak bisa tidur meskipun tubuhnya terasa lelah. Bahkan dia mematikan ponselnya karena kondisi hatinya sedang tak baik. Semalaman dia merenungi apa yang terjadi. Terlebih tentang keributannya dengan Ayah dan Bunda.

Ada lega tapi juga sakit yang merebak di lubuknya saat teringat hal itu.

Kemudian dalam hening itu, Sintya tiba-tiba berdecak dan menghembuskan nafasnya kasar. Sebagai manusia yang masih berperasaan, Mahen pun menoleh.

"Kenapa? " tanya Mahen.

" Kamu yang kenapa?!" solot Sintya.

Mahen yang tak mengerti dengan maksud Sintya pun, mengernyitkan keningnya.

"Maksudnya? "

"Semalam nggak angkat telfon kenapa? Telfonan sama siapa? Sibuk ngapain sih? Marah aku nggak bisa datang ke lomba?"

Runtun tanya Sintya merutuki Mahen yang terlihat makin tak berselera.

"Ngga gitu, "

Jujur Mahen memang sempat sedikit kecewa saat Sintya menelfon dan mengabarkan bahwa dia tak bisa hadir di perlombaan kemarin karena ada acara keluarga katanya. Sebagai seorang kekasih, Sintya bukannya harusnya ada di samping Mahen di saat seperti itu?

Tapi, sebenarnya Mahen bisa mengerti dengan penjelasan Sintya. Meskipun sedikit kecewa. Dia lebih merasa kecewa akibat kegagalan Ayah dan Bunda untuk datang, juga dengan pertengkaran semalam.

"Terus? " tanya Sintya menuntut.

Dicurigai banyak hal seperti ini oleh Sintya, membuat Mahen mati-matian menahan diri. Dia menarik nafasnya panjang. Merilis emosi agar tidak terlampiaskan pada Sintya.

"Aku lagi nggak mau bahas aja...."

"Ngga mau bahas? Kamu pikir aku marah gini karena apa? Karena aku pengen hibur kamu, aku pengen tau kabar kamu setelah lomba. Pengen kasih selamat! Semuanya demi kamu, By!!" sela Sintya penuh emosi.

"Iya aku paham. Tapi aku emang lagi nggak mood aja."

Mendengar Mahen masih belum bisa memberi alasan yang diinginkan, Sintya pun tersenyum remeh. Lantas dia menggebrak meja, mendorong kursi kebelakang.

"Terserah! Aku mau  pulang!" Sintya beranjak dari duduknya dengan emosi.

Tapi kala itu Mahen sigap menarik tangan Sintya mencegahnya pergi.

"Aku anter, " bujuk Mahen pelan.

Namun, Sintya malah mengempaskan tangannya dengan kuat.

"Ngga usah! Aku bareng sama Icel! " tolak Sintya dengan keras.

Mahen berniat mengejar, tapi teringat bagaimana Sintya begitu emosi, Mahen mengurungkan niatnya. Sebab, menghadapi wanita dalam situasi seperti itu hanya akan memperburuk keadaan. Ditambah lagi, dirinya sendiri masih kurang mampu menyetabilkan emosinya juga.

Alhasil, Mahen mengusak kepala dan meraup wajahnya kasar.

"Brengsek!!" makinya dengan kasar.

★★★★

Sudah pusing dengan keributannya dengan Ayahnya. Malah Sintya ikut merajuk sekarang. Mahen pun memilih pulang, setelah jam kuliahnya selesai. Pikirannya terlalu penuh sampai dia bener-bener hanya ingin sendiri,  menenangkan pikiran yang bergelayang kemana mana itu.

Adiyaksa's PrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang