07| Jam tangan dan Perbudakan.

136 19 38
                                    


Mata sipitnya memandang arah jalan kesana kemari bak orang hilang. Beberapa kali juga dia mengumpat saat ponselnya mati disaat yang krusial. Sungguh kesialan apa lagi yang terjadi di hidup Ren kali ini.

Sekilas dia melirik ke jam tangan yang melingkar di pergelangan. Lima belas menit sudah dia menunggu di sana, halte depan gerbang sekolah yang sudah sepi.

Dari kejauhan tiba-tiba matanya menatap sosok yang tak asing. Suara bising motor yang memekak telinga membuat Ren paham benar siapa orang yang berkendara perlahan mendekat ke arahnya.

Bising itu semakin keras jarak Ren dan orang itu semakin merapat. Ren pun menutup kedua telinganya.

"Oy! Masih nunggu? " Tanya cowok itu.

Ren mengangguk mengiyakan, tapi lirikan matanya sinis menatap manusia di depannya itu dari ujung rambut sampai ujung ban motornya.

"Suara motor lo ganggu banget tau!! Ngapain sih di modifikasi gitu modelnya? Polusi suara tau!!" tegurnya.

Lantas cowok di depannya itu menyisir rambutnya kebelakang, setelah sebelumnya sedikit berantakan sehabis melepaskan helmnya.

"Wajar, kita anak Bina Bangsa gitu! Harus menunjukkan ke garangan kita!" ujarnya dengan penuh kebanggaan.

Alih-alih terbawa suasana, Ren malah menggeleng kepala. Kekeh remeh sempat terdengar dari bilah bibir Ren setelahnya.

"Gue paham, di Bina Bangsa itu ada SMK dan SMA-nya. Tapi lo anak SMA, Argi! Bukan anak SMK atau anak jurusan TKR. Kita anak IPS kalo lupa! Jadi nggak ada hubungannya sama motor kalau mau keliatan garang."

Ya, sering kali Ren tak bisa berkata-kata dengan cara Argi berpikir. Ren pikir selama ini dia sudah cukup di bawah rata-rata kapasitas otaknya. Tapi, rupanya masih ada Argi yang sepertinya masih di bawah nya juga. Malang sekali.

"Yeu, yang nggak SMK juga boleh kali pakai motor biar keren, milih yang sporty biar ganteng. Lo doang yang nggak! Nggak diajak! " solot Argi.

Tuhkan, sudah di luar nalar sekali pemikirannya. Ren pun jadi agak malas menanggapinya.

"Serah lo deh, ganteng modal motor nggak perlu gue sih. Gue yakin gue udah ganteng dari sananya! " balas Ren.

"Sombongnya!"

"Biarin!"

"Mau bareng ga? " tanya Argi lagi.

Ren menggeleng, sebagai jawaban atas ajakan Argi. Lalu Argi mangut-mangut mengerti atas jawaban Ren yang disampaikan oleh bahasa tubuh saja. Tapi, sedetik kemudian dia menatap Ren lagi dengan penuh tanya.

"Ngomong-ngomong ngapain lo masih di sini? "

"Ya mata lo aja dibuka lebar-lebar! Ya nunggu jemputan! Kesel banget gue! Pake nanya segala! "

Sabar.... Menunggu begitu lama membuat Ren jadi kesulitan mengontrol kesabaran, ditambah lagi harus menghadapi Argi yang ada-ada saja pertanyaannya.

"Sewot amat, gue, kan, cuma nanya!" dengus Argi.

"Harusnya gue yang nanya, lo tumben baru nongol. Bukannya udah keluar kelas dari tadi lo? " Kali ini giliran Ren yang bertanya.

Lalu Argi menghela nafas, lalu membuangnya dengan berat.

"Tadi lagi liat bang Odi rakit mesin motor. Dia lagi sama temen-temennya. Niatnya mau nongkrong sehabis dia selesai. Tapi malah disuruh pulang sama emak gue, suruh anter bapak ke klinik, encoknya belum sembuh dari semalam."

"Ya udah gih buru pulang! Dikutuk sama emak lo jadi maling kutang lo!" sela Ren dengan cepat.

"Heh! Malin Kundang oge!  Dosanya mulut bocil ini! " Argi menggeleng tak percaya.

Adiyaksa's PrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang