Setelah semalam ribut dengan Ayah, Ren dibuat benar-benar malas untuk keluar kamar, mengindari semuanya.
Rencananya dia hari ini berniat bolos saja. Agar ayahnya tau bahwa dia sungguh marah kali ini. Tapi, belum sempat rencananya terlaksana, Ren yang baru saja mengusap wajahnya setelah beberapa menit lalu membuka mata, kini mendengus sebal saat pintu kamar diketuk dari luar sana.
"Dek, bangun. Buka pintunya, Bi! " seru Bunda.
Ren pun menghela nafasnya panjang. Dia akhirnya memilih menurut dan membuka pintunya. Berhubung Bunda yang meminta.
Saat pintu terbuka Ren melihat Bunda menyapa dengan senyum yang lembut. Lantas Ren hanya menyapa singkat dengan suara serak bangun tidurnya.
"Bun, "
Lalu kakinya berjalan menjauh menuju kasur lagi. Diikuti Bunda yang membututi.
"Kok nggak buruan mandi? Udah setengah enam ini, Bi? Kamu nggak sekolah? "
Ren malah menggeleng sembari menarik selimutnya lagi.
"Nggak, malas. " Singkatnya.
Alih-alih kesal mendengar jawaban Ren, Bunda malah tersenyum. Dia, menyisir rambut Ren yang berantakan dengan jari-jarinya.
"Masih marah ya? "
Tanya Bunda berakhir sia-sia tanpa jawaban. Karena Ren memilih bungkam.
Lalu Bunda menarik tangan Ren, menggenggam tangan Ren dengan kedua tangannya.
"Maaf ya kalau semalam keputusan Ayah dan Bunda juga Abang-abang kamu nggak ada yang menyetujui permintaan kamu. Tapi percaya deh sama Bunda, semuanya demi kebaikan kamu, Bi... "tutur Bunda.
Ren berdecak mendengar perkataan Bundanya.
"Aku pengen bawa motor sendiri juga demi kebaikan ku, malah kebaikan semuanya, Bun," tanggapnya.
Lalu tiba-tiba mata Bunda menatap mata Ren. Hal itu membuat Ren tak sanggup mempertahankan lebih pandangannya saat beradu dengan iris Bunda. Sebab, dia sedang tidak berada dalam satu jalur dengan Bundanya. Ren pun, memilih membuang pandangannya asal, menghindar.
"Bunda paham. Bunda ngerti kok.... Tapi Bi, untuk sekarang Bunda pribadi masih khawatir. Mungkin Ayah dan Abang juga gitu.... "
Perkataan Bunda memang lembut terucap, tapi makna ucapan itu tak berubah. Tetap sama di pemikiran Ren. Baik Bunda atau keluarganya tetap saja melarang Ren untuk menjadi mandiri.
"Selamanya juga gitu," jawab Ren dengan nada kesal.
Bunda lantas menjatuhkan pandangannya ke lantai yang dipijaknya. Matanya sempat bersorot sendu beberapa detik itu saat Ren meliriknya sekilas.
"Bunda juga berharapnya nggak selamanya. Bunda pasti bakal pertimbangin lagi permintaan kamu. Bunda janji, kalau semuanya sudah memungkinkan buat kamu, " ucap Bunda .
Mereka berdua sempat terdiam sejenak. Bunda yang masih terlihat menunggu jawaban Ren. Sedangkan Ren yang masih terlihat bersikukuh dengan pendapatnya, sehingga masih enggan menyampaikan suaranya.
"Please, jangan marah lagi ke kita ya, Bi. Kita cuma mau jagain kamu. Bunda yakin Ayah dan Abang bakal setuju disaat kamu udah memungkinkan." Bunda mengangkat tangannya yang masih menggenggam tangan Ren setinggi lehernya.
Ren pun luluh melihat bagaimana Bubda memohon begitu. Perlahan nuraninya mencoba sedikit belajar memahami maksud ucapan Bunda dan keputusan semalam.
Hembusan nafas panjang terdengar kala Ren akhirnya memilih bangkit dari duduknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiyaksa's Pride
Fiksi PenggemarDi kampung ini, siapa yang tidak mengenal Adiyaksa's Pride? Para pemuda dengan karakter yang berbeda, menjadi kebanggaan sepasang suami-istri dengan adanya mereka. Tapi siapa yang tahu bagaimana kehidupan mereka sebenarnya?