Ren tak pernah menginginkan diberlakukan berbeda daripada kakaknya. Sebab dia tahu akan ada hati yang tidak terima jika begitu adanya. Ren melepaskan nebulizer portabel yang sempat dia pakai tadi, saat nafasnya seperti tak mau diajak kerja sama. Dia bahkan memilih beristirahat dikamar setelah keributannya dengan Mahen.
Kalau dipikir-pikir Ren tak menampik jika selama ini dia memang sering bersikap kurang sopan. Tapi, percayalah dia hanya bersikap seperti itu pada Gala dan Mahen yang dia anggap mampu mengerti dirinya.
Setelah apa yang Mahen katakan, Ren menyadari satu hal. Ternyata, sedekat apapun itu memang tidak ada yang bisa diandalkan selain diri sendiri. Benar kata Argi, teralu banyak merepotkan akan tetap dianggap beban, bahkan pada mereka yang terikat jalinan persaudaraan.
Rasa kecewa itu jelas menyeruak di dalam relungnya. Tapi, lebih dari kecewa pada Mahen yang tega menganggapnya beban, Ren justru lebih membenci dirinya sendiri yang tak memikirkan perubahan sejak dulu agar tak merepotkan.
"Ren! " terdengar suara Bunda di depan pintu.
Ren lalu mencoba membetulkan posisinya yang sedang setengah duduk saat mengisap nebulizer-nya tadi.
"Masuk, " titah Ren.
Setelah itu pintu kamarnya benar-benar terbuka, Bunda pun bergegas masuk dengan wajah khawatir setelah mendapati Ren yang terlihat lemah dan nafasnya yang terdengar berat.
"Kamu kenapa? " Bunda menangkup wajah Ren.
"Ngga apa-apa, cuma tadi sesek banget, Bun, " jawab Ren lemah.
"Bunda bilang ayah kita ke dokter, ya? " bujuk Bunda.
Tapi Ren justru menggeleng, "Ngga usah, ini udah mendingan kok. "
Bunda beralih memegang kedua tangan Ren, dari tatapannya dia telihat memohon.
"Ren... "
Ren pun tersenyum sedikit agak di paksakan, untuk melegakan hati Bunda.
"Bunda percaya deh, sama aku. Ngga usah bilang Ayah juga. Nanti panjang urusannya. "
Setelah itu Bunda sempat menghembuskan nafasnya panjang. Dia terdiam, pandangan sendunya jatuh pada lantai di bawah.
"Ya udah ayo bangun, makan malam. "
"Aku nggak laper, Bunda,"tolak Ren, sebab dia sedang benar-benar enggan untuk menemui Mahen setelah keributan itu.
"Ngga boleh gitu, dek."
" Tapi aku beneran nggak mau, " Ren memang keras kepala.
Bunda lantas bangkit dari duduknya, "Bunda ambilin bawa ke sini. Nggak banyak-banyak tapi, kamu makan ya? " rayu Bunda.
"Bun.. " Ren semakin mengeratkan pegangannya dengan tangan Bunda, seolah dia menahan Bunda untuk tidak melakukannya.
Tapi Bunda tak mau kalah, dia melepaskan tangan Ren perlahan. Tatapannya yang teduh menyihir Ren.
"Bunda nggak nerima penolakan. "
Akhirnya Ren hanya bisa berpasrah melihat Bunda begitu bersikeras membujuknya. Kemudian, Bunda berjalan hendak pergi. Tapi, baru beberapa langkah dia beranjak, langkahnya terhenti.
"Bun! " panggil Ren memaku gerak Bunda.
"Iya? " Bunda menoleh.
"Motor aku udah dibawa ke bengkel kemarin? Ayah beneran mau jual? " tanya Ren sempat ragu-ragu.
"Motornya udah selesai di benerin bagian lecet-lecetnya. Tadi udah dianter sebelum maghrib. Itu ada di garasi. Kenapa? " jawab Bunda.
"Ngga apa-apa, " Ren menggelengkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiyaksa's Pride
FanficDi kampung ini, siapa yang tidak mengenal Adiyaksa's Pride? Para pemuda dengan karakter yang berbeda, menjadi kebanggaan sepasang suami-istri dengan adanya mereka. Tapi siapa yang tahu bagaimana kehidupan mereka sebenarnya?