Beberapa hal besar yang menimpa keluarganya membuat Ren berpikir lebih dalam. Ya, setelah semalaman tak tidur karena terbayang-bayang ucapan Mahen. Ren menyadari satu hal, mungkin, semua hal buruk yang terjadi di keluarganya disebabkan oleh dirinya.
Mulai dari pertengkaran dengan Ayah, ribut dengan Mahen dan selisih paham dengan Gala. Mungkin semuanya disebabkan oleh Ren sendiri.
Tapi sebenarnya sejak kapan Ren meminta diperlakukan berbeda hingga menyebabkan keirian? Ren juga bukan orang yang memulai perselisihan dan mengadu nasib untuk melihat siapa yang terluka.
Ren hanya menjadi dirinya sendiri ketika dirumah. Dia hanya ingin seperti abang-abangnya yang bisa hidup normal tanpa kekangan dan bisa membanggakan, lewat hal-hal yang bisa dilakukan. Minimal tidak merepotkan, sudah itu saja.
Tapi, Ren menyadari bahwa mungkin tak semua orang bisa menerima dirinya. Tak semua orang bisa mengerti apa yang dia mau dan dia maksudkan. Dan karena beberapa hal itu Ren sadar mungkin sudah dari dulu harusnya dia berubah. Bagaimanapun hanya diri sendiri yang bisa menerima sisi dari dirinya.
Rasa bersalah itu menyala hebat setelah mendengar perkataan menyakitkan dari Mahen, selaku salah satu orang yang paling dianggap terdekat baginya.
Sempat ada sesal tapi tak mengapa. Yang jelas kini dia telah mengerti bahwa tidak ada yang bisa menjadi tempatnya benar-benar nyaman selain pelukan diri sendiri.
Meskipun kondisinya belum sepenuhnya membaik, bahkan nafasnya kadang masih terasa nyeri dan sesak, tapi Ren tetap memutuskan untuk bersiap. Dia sengaja bersiap lebih pagi dari biasanya. Karena pagi ini dia akan berangkat ke sekolah menggunakan ojol yang telah dia pesan. Dia benar-benar tidak ingin merepotkan siapapun.
Setelah menyisir rambutnya rapi, Ren mengenakan jaketnya dan menyangklongkan tas.
Dia melangkah keluar saat jarum jam masih menunjuk ke angka 06.35 pagi.
Saat mencapai dapur, dia menemukan Bunda yang sedang menyiapkan sarapan di temani mbak Titin yang sedang mencuci sayuran.
Ren bergerak memeluk Bunda dari belakang. Membuat Bunda sedikit kaget dan menoleh.
Ren terdiam, menikmati pelukan Bunda yang terasa hangat dan menenangkan. Rasanya, dia seperti begitu berat untuk melepaskan pelukan itu.
"Udah rapi, mau sekolah?" tanya Bunda yang langsung menaruh pisau yang tadi digunakan untuk memotong sayuran.
Ren mengangguk, masih enggan melepaskan pelukannya.
Lantas Bunda menarik tangan Ren yang melingkar di perutnya. Menangkup wajah sang anak yang langsung melepaskan pelukan.
"Udah sembuh? Nggak sesek lagi? "
Ren menggelengkan kepalanya, "Nggak apa-apa. Udah nggak apa-apa. "
Bunda lantas tersenyum, lalu bergerak menuju sisi meja yang berada di dekat lemari pendingin.
"Bunda udah buatin su—"
"Bunda! " tukas Ren memotong perkataan Bundanya.
Saat itu Bunda berhenti bergerak, seolah perhatiannya sepenuhnya jatuh pada Ren saja.
Kedua alis Bunda terangkat, " Kenapa? "
Ren sempat menjatuhkan pandangan pada lantai yang dia pijak. Kemudian kembali mengangkat pandangan lagi menatap Bunda dengan nafas yang terhembus panjang.
"Bun maaf ya kalau kondisi rumah jadi nggak nyaman karena aku. Maaf kalau aku banyak buat masalah buat Ayah dan Bunda. Maaf juga kalau aku sering nggak sopan sama Bang Gala dan Bang Mahen. Maaf kalau aku sering repotin kalian dan jadi beban. Nanti kalau Ayah dan Abang udah pada bangun dan kumpul, tolong sampein hal itu. Aku minta maaf gitu ya," ujar Ren pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiyaksa's Pride
FanfictionDi kampung ini, siapa yang tidak mengenal Adiyaksa's Pride? Para pemuda dengan karakter yang berbeda, menjadi kebanggaan sepasang suami-istri dengan adanya mereka. Tapi siapa yang tahu bagaimana kehidupan mereka sebenarnya?