A colorful story by Nora
Ternyata kopi pahit tidak terlalu buruk buat dinikmati
Meski hanya sekali, rasakan nuansa momen berbeda dalam hidup
Cinta dan kaya memang semanis loli
Tapi kalau belum merasakan asinnya lelehan air mata, berarti hidup ini be...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi buta berkejaran memburu tiket kereta yang rawan habis karena hari libur segera tiba. Untungnya masih ada sisa tiga tiket yang bersedia mengantarkan mereka ke tanah kelahiran. Tidak sempat membawa apa pun. Terlalu gegabah, benar. Sebab lava panas masih memuncrat hebat dari relung hati dan waktu tidak bisa disia-siakan.
Angger bahkan tidak terlihat mengantuk meski semalaman tidak tidur. Berpakaian apa adanya, tidak mengganti selop dengan sepatu, serba cepat. Danis buru-buru membeli roti dan air mineral untuk sarapan lantas berlari mengimbangi langkah kaki Angger yang sangat cepat.
"Makan dulu ini. Kalian belum makan dari kemarin sore." Danis membaginya setelah sampai di kursi gerbong.
Angger geming. Jangankan makan, napas pun tidak nafsu. Namun Danis tetap makan karena harus punya energi yang cukup untuk menengahi jika nanti Angger meledak-ledak. Meski roti cuma menyangkut di tenggorokan. Sedangkan Dita duduk di antara keduanya, diam seribu bahasa, tidak tergugah meski Danis mencoba mengajak bicara.
Angger sangat menakutkan sekarang.
Kalau sudah begini, yang pasang garda terdepan juga kakak. Angger terpaksa izin dari pabrik padahal satu bulan hanya boleh izin maksimal 2 kali itupun harus dengan keterangan yang jelas. Ia bahkan tidak memikirkan jika dipecat dan miskin kembali lalu ditendang dari hunian. Tanpa tahu jika saldo tabungan benar-benar kosong. Begitu juga Danis yang melewatkan kelas padahal sedang musim penilaian. Apa mereka terlihat keberatan? Tidak. Karena Dita lebih dari penting sekarang.
Karena wajah Dita sangat berantakan, Danis tidak ingin orang-orang menganggapnya aneh. Jadi Danis memasangkan masker wajah untuk menutupi lebam akibat ulah Angger. Sejenak merapikan rambutnya yang lepek.
Kereta melaju mengikis jarak untuk lebih dekat dengan titik temu. Mungkin Angger sangat lelah sampai ketiduran, sedang Dita terus menyender pundak Danis dan menggenggam tangannya erat.
"Bilang kalau nggak nyaman, ya, Dit."
Dita menggeleng. "Kita mau pulang ke rumah? Aku belum bisa ketemu Bapak dan Ibu, Mas."
"Enggak, nanti kita sewa penginapan."
"Uangnya?"
"Aman, gue ada."
Gue pinjam Naya, soal imbalan segala macam pikir belakang.
Suasana sesak kembali menyelimuti dan Danis perlu pasokan oksigen lebih sekarang. Ia merogoh kantong tas tempat penyimpanan khusus permen. Tinggal 3 chewing gum dalam tabung kecil. Danis mengambil warna hijau dengan harapan ketenangan dan keseimbangan emosional seperti yang dibilang pada psikologi warna. Namun baru hendak menyuap, tangan Dita tiba-tiba mencegah, ia menggeleng.