A colorful story by Nora
Ternyata kopi pahit tidak terlalu buruk buat dinikmati
Meski hanya sekali, rasakan nuansa momen berbeda dalam hidup
Cinta dan kaya memang semanis loli
Tapi kalau belum merasakan asinnya lelehan air mata, berarti hidup ini be...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sudah hampir seminggu sejak kejadian konyol kala itu, Naya menarik diri dari gerombolan di apartemen. Ia pulang ke rumah dan menjalani kelas seperti biasanya atau mungkin dengan sedikit perbedaan. Yah, ia gemar berangkat telat agar mendapat bangku sisa yang jelas tidak dekat Danis.
Naya benar marah dengan Danis.
Naya juga membentuk lingkaran pertemanan baru dengan para adik tingkat berondong alay itu. Meski tidak lain untuk kepentingan perut kenyang secara gratis. Ketika dosen menyuruh membuat kelompok sendiri, ia tidak lagi membutuhkan Danis sebagai anggotanya. Ia menjadi ketua kelompok walaupun banyak diprotes anggotanya karena kinerjanya yang buruk. Kalau pulang, Naya akan mampir ke bar ujung sana dan melanjutkan perjalanan pulang saat hari hampir berganti. Tidak tahu. Ia merasa akhir-akhir ini sangat panas dan pendingin ruangan tidak cukup meredakan, jadi memilih semakin terbakar dengan tegukan alkohol.
Begitupun Danis yang tidak ada niatan mencari Naya sebab hatinya betul dongkol dan tidak ingin berdamai dalam waktu dekat. Selama Naya menempel, hidupnya banyak berubah. Bermula dari kopi pahit, godaan alkohol, lalu tidak tanggung-tanggung pemicu perampasan uangnya.
Naya dan Danis bukan sepadan, melainkan seperti dua bara dari sumber yang berbeda. Tidak pernah akur, langganan adu mulut, dan kerap membesar-besarkan masalah sepele. Bahkan tidak ragu bermain kasar. Danis pikir sudah waktunya berhenti. Sudah cukup membuang-buang energi. Terlalu melelahkan.
Namun, tadi pagi ia mendapat celetukan tepat di relung hati. Ah, ini lagi, ini lagi ....
"Jangan kasar-kasar mulu sama cewek habis itu nggak minta maaf. Kalau ada orang dendam nggak ketolong nyawa lo bisa jadi taruhan. Lo ingat, kan, Ibu pernah cerita soal Mbah Cikrak? Sekali tusuk muntah darah campur paku dan belatung."
Saking lamanya telinga berdengung, ia tidak sadar menghabiskan dua potong roti gosong sebab Angger terlambat bangun. Itu, kan, dongeng masa kecil!
"Nanti temui dia, ajak baikan. Masa mau balik ke jaman puber? Dikit-dikit marah, musuhan, perang lewat sosial media. Jangan jadi bajingan yang suka nyakitin hati cewek."
"Serius, Dan, kalau sikap lo kayak gitu susah dapat pacar."
Pada akhirnya, ia terjebak dalam atmosfer panas yang tidak diinginkan. Mengejar seseorang dari ruang kelas satu ke ruang lain, di lorong panjang yang penuh mahasiswa, lalu berakhir di kantin yang tidak seramai biasanya.
Ini bukan soal mendapat pacar, tapi soal melegakan hati Angger, asli. Toh, tidak ada rencana menikah dalam hidupnya—untuk sekarang.
"Naya ... ayo pulang ke unit gue lagi. Nggak mau ketemu Mamas gue yang ganteng itu?"