12

480 76 2
                                    

Beberapa minggu ini Olivia merasa begitu terguncang dan dipenuhi dengan ketidakyakinan bahwa apakah dia memiliki keputusan yang tepat dengan menceraikan Paul. Karena sepertinya neraka di keluarga Holmes tidak lebih buruk dari pada neraka di rumahnya sendiri.

Dengan ayah kandungnya yang bersikap seperti ayah tiri durjana. Ibu tirinya yang terus memandang rendah padanya. Dan adik tiri yang bahkan saat lewat akan dengan sengaja menginjaknya.

Tidak ada ketenangan dalam rumah itu yang membuat Olivia ingin segera meninggalkan neraka tersebut. Tapi beberapa waktu ini Paul tidak dapat dihubungi. Pria itu menghilang setelah mengatakan akan pulang menenangkan ibunya.

Harapan untuk bisa pergi dari rumah ini hanya Paul. Paul yang menjanjikan rumah untuk mereka dan Olivia sudah setuju. Apakah Paul sudah lupa pada janjinya? Olivia benar-benar tidak dapat mengandalkan siapa pun.

Dan puncaknya adalah malam ini. Saat adik tirinya tanpa sengaja dan menunpahkan air es ke kepala Olivia. Tapi jelas itu sengaja karena Olivia dengan jelas-jelas bisa melihat tangan itu yang dibalik hanya untuk sekedar menuangkan air es beserta es batunya ke kepalanya yang membuat Olivia berteriak dingin dan sakit.

Dia berdiri dan dengan kesal menampar gadis itu, habis sabarnya di kikis mereka semua. Tamparan itu membuat gadis yang baru berusia lima belas tahun itu menangis sejadi-jadinya. Dia berlari dan melapor ke ayah dan ibunya.

Seperti yang sudah diduga, tanpa menunggunya menjelaskan, ayahnya segera menamparnya dengan sekuat tenaga, membuat Olivia merasakan anyir di sudut bibirnya dan pandangan buas pria itu bahkan tidak mengasihani anaknya.

"Dasar kau anak terkutuk!" seru ayahnya dengan telunjuk tajam mengarah tepat ke wajah Olivia. "Sudah tidak berguna dan sekarang kau masih berani menyakiti anakku."

"Anakmu? Apa aku bukan anakmu?"

Ayahnya mendengus. "Aku tidak memiliki anak tidak berguna sepertimu."

"Aku tidak berguna? Lalu apa yang aku lakukan selama tiga tahun di keluarga itu! Aku bertahan berharap kau menatapku dan setidaknya sedikit memberikan sayangmu padaku, seperti yang kau berikan pada anakmu yang lain. Tapi aku terlalu berharap, karena orang sepertimu tidak pantas mendapatkan kebaikanku."

Shamus melayangkan tangannya lagi dengan tinggi, ini memberikan tamparan yang mungkin lebih keras.

"Aku mau menamparku? Tampar! Puaskan hatimu. Kau tidak ingin membunuhku juga?"

"Kau ...."

"Kenapa? Apa aku sekarang menjadi anak durhaka? Ah, bukankah aku selama ini memang anak durhaka?"

Shamus memutar tubuhnya, membelakangi putrinya dengan kedua tangan ada di belakang tubuh. "Kau sekarang sudah berani melawan ucapanku ternyata."

"Apa kau terus membisu sampai diam-diam aku dibunuh oleh kemarahanmu."

Shamus mendengus kesal. "Apa kau melakukannya karena kau berpikir pria itu akan datang menyelamatkanmu? Dia menjanjikan itu padamu?"

"Apa yang kau katakan?" Olivia tidak mengerti. Tadinya dia berpikir Paul yang dibahas Shamus tapi setelah mendengar lebih lanjut, Olivia mengerti kalau yang dimaksud adalah Elias.

"Pria itu hanya menjadikanmu alat untuk membuat istrinya marah dan akhirnya menceraikannya."

Wajah Olivia membeku.

"Dia hanya mendekatimu untuk membuat Hannah menyerah, karena kau tahu, jika Elias itu bercerai dari Hannah maka dia akan mendapatkan setengah harta istrinya. Jadi katakan padaku, tidakkah itu menggiurkannya?"

"Apa yang kau katakan, Elias dan aku ...."

"Kau hanya mantan menantu yang sudah dibawa anaknya bersenang-senang. Dia sudah selesai denganmu. Mereka semua sudah selesai. Kau melihatnya sendiri, mereka tidak ada lagi yang membicarakanmu. Elias sudah akan bercerai dengan Hannah jadi tidak ada lagi alasan pria itu akan membelamu."

"Aku tidak mengerti yang kau katakan." Olivia mengalihkan pandangannya, dia hendak pergi.

"Buka matamu. Selama ini kau hanya alat. Untukku dan bahkan untuk keluarga Holmes. Termasuk Elias Slater. Kau tidak lebih dari sekedar alat."

Dengan kemarahan telak, Olivia akhirnya meraih meja di sampingnya dan membalik meja yang harusnya berat itu hingga terjatuh. Dia berteriak seperti dia kehilangan kewarasannya sendiri. Olivia bahkan menjambak rambutnya sendiri dan memandang ayahnya dengan tajam dan mata memerah.

"Aku sudah cukup mendengarmu dan aku sudah cukup menjadi putrimu. Kau bukan lagi ayahku. Kau bukan ayahku!"

Wajah Shamus terpaku. Dia sudah akan mengangkat tangannya untuk meraih putrinya tapi deheman istrinya membuat dia berhenti. Ingat kembali masalalu yang membuat dia mendapatkan gadis itu. Dia kemudian menunjuk ke arah gadis itu. "Kau akan pergi, maka pergi. Jika kau keluar dari keluarga Jansen, kau pikir apa yang akan kau dapatkan, hah?"

Olivia terkekeh dengan keras. Dia tertawa kemudian dan merentangkan kedua tangannya. "Akhirnya aku bebas."

"Kejar kebebasan yang kau inginkan, jika sampai kau menyesal dan ingin kembali ke depanku, bahkan meski kau merangkak, aku tidak akan membiarkanmu. Kau bukan lagi putriku." Dan Shamus berbalik pergi meninggalkan. Tanpa menatap lagi ke belakang.

Olivia mendesah dan berbalik.

"Sebaiknya kau benar-benar enyah dari hidup kami. Karena kehadiranmu di sini, hanya membuat kami semua tidak nyaman. Kau tahu itu, kan?"

"Kau memiliki anak perempuan. Hati-hati, jangan sampai dia bernasib sama sepertiku."

"Dengan aku ibunya, dia tidak akan pernah berakhir dengan buruk. Kau harus tanya sendiri apa yang dilakukan ibumu sampai putrinya berakhir sepertimu."

Olivia menatap wanita itu tapi sebelum dia benar-benar dapat menimpali perkataan wanita itu, dua pria sudah disuruh menyeretnya keluar.

Dengan kasar dia didorong keluar rumah di mana ternyata hujan deras segera mengguyur tubuhnya. Dia menatap ke rumah yang tidak pernah meninggalkan sisi manis di dalam diri Olivia tersebut. Dia mengucapkan selamat tinggal pada rumah itu dan segera melangkah pergi.

Di jalan, gadis itu memeluk dirinya sendiri. Tidak tahu hendak ke mana dan tidak memiliki barang sama sekali. Dia hanya mengenakan celana pendek dengan sendal jepit. Tanktop yang di luarnya dipasangkan kemeja putih tipis. Rambutnya tergerai dengan basah kuyup dan bahkan bibirnya sekarang membiru kedinginan.

Dia menatap jalanan di depan sana yang seolah tidak memiliki masa depannya.

Saat dia mengingat kembali kalau Elias hanya menjadikannya alat, itu memberikan lebih banyak rasa sakit lebih dari yang bisa diberikan orang lain.

Dia pikir setidaknya ada satu orang yang tulus padanya di dunia ini. Tapi bahkan Elias sama saja dengan mereka. Pria itu bahkan lebih buruk.

Olivia memejamkan matanya dengan guyuran air hujan yang semakin deras. Ini lebih baik, pikirnya. Dia sudah kehilangan semuanya dan tidak ada satu pun orang yang memiliki ketulusan padanya. Seluruh kekecewaan, pengkhianatan, dan segala perlakuan buruk mereka, Olivia akan mengingat semuanya. Dia akan mulai menjalani kehidupannya sendiri dari kelas terendah. Tidak masalah sendiri selama dia tidak lagi melihat wajah mereka yang sudah membuat dia menjadi begini tragisnya.

Dia tidak perlu lagi percaya pada mereka semua. Dia tidak perlu lagi mengingat mereka semua. Mereka hanya momok mengerikan dalam hidup Olivia yang bahkan tidak patut membuatnya memikirkannya.

Dengan pemikiran yang coba positif seperti itu, Olivia kembali memaksa kakinya melangkah. Dia akan pergi ke tempat di mana dia mungkin akan bisa diterima. Entah di mana, Olivia akan menemukannya.

Dia tidak membutuhkan orang lain. Tidak juga pria yang sekarang sedang menatapnya setelah memberhentikan mobilnya di sampingnya. Pria itu menurunkan kaca mobil hingga Olivia bisa melihatnya.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Di Ranjang Mantan Mertua (RAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang