17

458 73 3
                                    

Paul mendesah kemudian, dia menatap ke depan dengan kedua tangan yang bertaut. Tubuhnya sedikit membungkuk. "Aku minta maaf, Elias. Untuk apa yang diperbuat ibuku."

"Elias? Tidak memanggil ayah lagi?"

Paul tersenyum, mengejek dirinya sendiri. "Kau pasti selama ini begitu muak mendengar panggilan itu dariku."

"Tidak juga."

Paul menatap Elias, ingin memastikan satu hal. "Apa kau membenciku?"

Elias membalas pandangan itu. "Apa kau pikir aku membencimu?"

Paul menggeleng. "Aku sudah tidak tahu apa pun lagi. 26 tahun hidupku, rasanya aku dipecundangi dan ditipu habis-habisan. Ayah yang kupikir ayah kandungku ternyata hanya sosok yang dipakai ibuku untuk membuat nama baiknya tidak tercoreng."

"Kau juga menyalahkan aku?"

"Mana mungkin. Di sini kaulah yang paling menderita, harus bersama dengan kami. Bersama dengan wanita yang kau benci karena sudah merusak keluargamu. Aku mendengar semuanya. Soal yang terjadi pada ibu dan ayahmu yang kecelakaan karena terkejut mendengar anaknya yang masih muda menghamili perempuan. Kau pasti membenci kami. Membenci ibuku."

"Aku akan mengatakannya dengan jujur, aku membenci ibumu. Tapi tidak membencimu."

Paul yang mendengarnya merasa lega sedikitt. "Terima kasih sudah mengatakannya."

"Sikap selama ini yang aku tunjukkan dengan tidak memedulikanmu dan tidak pernah menganggap seperti anakku, adalah karena aku tidak ingin kau merasa ditipu oleh kami berdua. Aku sudah sejak lama ingin mengatakan kebenarannya padamu, tapi Hannah selalu tahu saat aku ingin mengatakannya. Dia selalu menegaskan bahwa memberitahumu kebenarannya hanya akan menyakitimu. Aku termakan ucapannya dan menyembunyikan segalanya darimu."

"Aku mengerti, Elias. Tapi sepertinya aku tidak akan bisa memanggilmu ayah lagi. Bukan karena aku membencimu, atau tidak menghormatimu. Tapi memanggilmu ayah terasa seperti mengejek diriku sendiri. Jadi aku tidak dapat kembali ke masalalu itu."

Elias menepuk pundak Paul dengan lembut. "Aku mengerti."

"Kau tidak jijik padaku?" Paul bertanya saat melihat Elias memegangnya. Dan dia baru sadar kalau Elias sudah bergeser duduk di sisinya. Dia pikir Elias akan menjauh saat tahu orientasinya. "Aku baru saja mengatakan pada ibuku soal aku homoseksual. Tidak masalah bagimu?"

"Kau jujur padanya, bukan untuk menyakitinya?"

"Itu kebenarannya, Elias. Aku tidak berbohong. Aku memang tidak tertarik pada wanita."

"Tunggu, berarti, Olivia benar-benar ...."

"Dia tidak pernah kusentuh sekali pun. Aku sudah mengatakannya di malam pertama kami soal orientasiku. Dia mengerti dan dia sendiri hanya ingin aman di rumah ini karena di rumahnya dia tidak aman. Siapa sangka malah ibu akan terus mengatainya mandul. Dia pasti sangat menderita."

"Begitu rupanya."

"Karena kau benar-benar bersamanya. Hargai dia dan berikan cinta sepenuhnya padanya. Dia selama ini selalu menderita karena keluarganya sendiri. Dia juga mendapatkan suami yang tidak becus sepertiku. Hidupnya sudah sangat menyedihkan, Elias."

"Akan kulakukan. Dan dia pikir, kau marah padanya karena kami bersama."

"Awalnya. Tapi karena tahu kebenarannya sekarang, biarkan kebersamaan kalian anggap kompensasi atas perbuatanku selama ini. Soal rumah yang aku janjikan padanya, katakan padanya, aku akan segera menepatinya."

"Tidak perlu. Dia tidak akan tinggal jauh dariku. Jangan memberikannya rumah agar tidak ada alasannya untuk pergi dariku."

Paul yang mendengarnya hanya bisa tersenyum dengan sedikit agak dipaksakan. Dia mengangguk kemudian.

Elias segera berdiri. "Aku tidak mau lebih lama di sini. Kau tahu kalau ibumu selalu membuat masalah jika melihatku. Jadi sebaiknya aku pergi. Dan jika ada apa-apa, katakan padaku. Jangan memendamnya sendiri."

Paul mengangguk dan berdiri juga. Dia terkejut saat Elias memeluknya dengan erat. Paul menenggelamkan wajahnya ke dada ayahnya tersebut. Merasakan tepukan sayang dari Elias membuat dia tidak dapat membendung airmatanya sendiri.

Paul bergerak melepaskan pelukan dan berbalik pergi. Dia hanya melambai tanpa berbalik lagi. Melangkah pergi karena tidak mau Elias benar-benar menemukan kelemahannya.

Setelah Paul menghilang, Elias melangkah keluar dan bergerak menuju ke mobilnya. Dalam perjalanan, tidak sekali pun pikiran Elias tenang soal keperawanan Olivia. Jika gadis itu sungguh perawan, mungkinkah Olivia adalah gadis yang bersamanya malam itu?

Tapi jelas-jelas Olivia mengatakan bertemu dengan temannya. Mana mungkin Olivia berbohong padanya, untuk apa? Bukankah mengatakan kebenarannya lebih baik mengingat hubungan mereka?

Rupert sudah ada di dalam mobil dan Elias segera bergabung dengannya. Rupert menatap Elias yang dipenuhi dengan banyak pemikiran.

"Ada masalah?" tanya Rupert.

Elias mengangkat pandangannya, memandang sahabatnya itu. "Paul mengatakan sesuatu yang lucu."

"Kau sama sekali tidak terlihat tertawa."

"Olivia tidak pernah disentuhnya. Bahkan satu kali pun."

Rupert yang mendengarnya terdiam.

"Kenapa? Ada sesuatu yang harusnya aku tahu?"

Mendesah, pria itu menyerahkan tabletnya yang tadinya enggan dia serahkan karena tidak yakin. "Ada CCTV di bagian utara hutan. Dan itu menangkap siluet seseorang yang tengah melarikan diri lewat sana."

"Apa?" Elias segera melihatnya. Buram dan tampak agak jauh. "Gaunnya ...."

"Ya. Malam itu Olivia mengenakan gaun rancangan Laurent. Hanya ada satu-satunya di dunia dan itu juga yang dia kenakan di bar juga pesta di mana dia mengumumkan perceraian. Jadi jika disimpulkan, gadis itu harusnya memang Olivia."

Kepalan tangan Elias tampak memperlihatkan urat-uratnya. "Percepat kembali."

Rupert mengangguk dan segera mengebut dengan kecepatan tinggi. Yang tadinya membutuhkan empat puluh menitan untuk bisa sampai ke rumah pribadi itu, Rupert menempuhnya hanya dalam waktu dua puluh lima menit.

Mobil belum sepenuhnya berhenti saat Elias sudah turun tanpa mengatakan apa pun. Dia melangkah dengan kaki panjangnya menuju ke dalam rumah. Sempat menengok dari luar tadi, dia menemukan kamar itu masih menyala lampunya. Gadis itu masih menunggunya.

Dini hari sudah hampir berlalu, sebentar lagi pagi akan menyapa, Elias yang dengan banyak pikiran berkecamuk di otaknya tidak lagi menemukan sisi baiknya. Pada apa yang tidak dikatakan padanya, dia begitu marah.

Saat dia membuka pintu kamar, benar sesuai dugaannya. Gadis itu masih duduk di pinggir ranjang dengan resah. Gadis itu segera bangun dan menghampiri Elias yang masuk.

"Bagaimana keadaan Paul?" Olivia bertanya dengan nada penuh khawatir. "Dia baik-baik saja? Aku benar-benar tidak tahu kalau dia bukan anakmu. Aku tidak menyangka kalau ...."

"Seperti kau yang tidak menyangka kalau pada akhirnya aku akan tahu kau gadis itu."

Olivia yang mendengarnya bingung. "Gadis? Gadis apa?"

Elias melempar tablet yang dibawanya ke lantai. Membuat benda itu pecah dengan suara keras sampai Olivia sendiri mundur dua langkah dengan kedua tangan menutup telinga. Dia terkejut dan darah seperti surut dari tubuhnya.

"Di belakang rumah ini ada kamera pengawas yang dipasang. Di sana merekam seorang gadis yang melarikan diri melewati hutan menggunakan gaun yang kau kenakan. Gaun yang segera kau ganti dengan pakaian yang kau beli entah di mana."

Olivia tergugu mendengarnya. Bibirnya kelu dan pandangannya sendu ke arah Elias. Dia tidak tahu kalau Elias akan secepat ini tahu. Dengan tatapan kecewa dan marah itu, Olivia barulah menyadari kalau dia melakukan kesalahan. Dengan tidak mengatakannya pada Elias, itu murni kesalahannya. Meninggalkan pria itu juga kesalahannya.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Di Ranjang Mantan Mertua (RAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang