8

761 79 1
                                    

Olivia khawatir dia akan jatuh tenggelam ke perasaan yang tidak seharusnya dia rasakan. Apalagi dengan hubungan mereka, perasaan itu tidak boleh ada. Bisa-bisa dia mati dijambak Hannah. Dia masih sayang nyawanya.

"Terima kasih sudah melukisku," ucap Elias yang sudah duduk di depan mejanya.

"Lukis? Kapan aku ...." Olivia menatap ke meja, di mana seharusnya kertas itu berada di sana. Tapi dia tidak menemukan apa pun. Membuat dia melongo dengan kepala pusing yang tiba-tiba melandanya. Olivia bergerak mendekat ke arah Elias. "Di mana kertasnya."

Elias sudah menepuk laci di sisi kirinya. Dia memasukkannya ke sana.

Dengan segera Olivia tanpa permisi coba membuka laci itu, untuk mengambil kertas dan bila perlu merobeknya. Tapi dia tidak dapat membuka laci itu sama sekali. Sudah dikunci.

Tangan Olivia terulur pada Elias. "Berikan kuncinya."

Elias mengangkat pandangannya. Tatapan coba mengintimidasi dari gadis tersebut malah terlihat seperti sebuah lelucon baginya. "Kalau aku tidak memberikannya, apa yang akan kau lakukan?"

"Berikan kuncinya, gambarnya jelek. Jangan melihatnya."

"Aku sudah melihatnya."

"Elias!" seru Olivia hilang sabar.

Melihat pria itu tidak bergerak sama sekali, Olivia dengan kesal meraba ke tubuh Elias. Dia berusaha mencari di semua saku yang dapat dia temukan. Tapi dia tidak sadar ke mana tangannya masuk mencari. Karena setelah sadar dan menatap Elias dengan resah, dia malah menemukan wajah mereka yang begitu dekat. Bahkan sampai napas Elias membelai wajahnya.

Tangan Olivia ada di saku depan celana kain milik Elias, memberikan pandangan Olivia mengarah ke sana dan menemukan bagian di antara paha pria itu membesar. Entah memang sangat besar hingga tampak begitu saja. Atau milik pria itu memang sedang bangun akibat gerasak-gerusuk gerakan Olivia.

Dengan segera Olivia kelabakan sendiri mundur dan hampir jatuh. Elias meraih tangan Olivia dan menarik gadis itu. Gerakan yang tidak terbaca dari keduanya membuat Olivia malah sudah berada di pangkuan Elias. Dan Olivia benar-benar merasakan saat bibir Elias menggores ke pipinya. Itu hanya dua detik mungkin, tapi sanggup melonjakkan jantung Olivia dengan beringas.

Olivia bangkit dengan kelabakan. "Maaf." Dia kemudian berlari ke arah pintu di mana kamar mandi berada. Dia masuk dan menutup pintu dengan keras. Kemudian dia mengurung diri di dalam sana. Seolah jika dia keluar, sesuatu yang tidak dia inginkan terjadi akan terjadi.

Gadis itu duduk jongkok di lantai. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menepuk-nepuk pelan pipinya, dia coba menyadarkan diri kalau Elias itu adalah ayah Paul. Bagaimana pun hubungannya dengan Paul dibalik hubungan sebagai suami dan istri itu, semua orang mengakui kalau Olivia adalah menantu Elias.

Jadi Olivia benar-benar tidak boleh berpikiran berbeda pada pria itu. Dia tidak mau masuk ke kerumitan yang lain setelah dia dengan cukup berani keluar dari satu kerumitan.

Hampir sepuluh menit Olivia berada di kamar mandi tanpa tahu harus melakukan apa. Dia hanya mondar-mandir dan kadang duduk di atas kloset tanpa benar-benar tahu apa yang harus dia perbuat. Dia tidak memiliki keberanian untuk keluar dan menghadapi Elias. Tapi diam terus-menerus di dalam jelas bukan keputusan bijak.

Ketukan di pintu mengejutkannya, dia menatap ke arah pintu dengan resah. Sepertinya waktu untuk memikirkannya sudah habis.

"Keluarlah, kau belum makan siang, kan? Ada makanan di sini."

Olivia segera memegang perutnya. Dia memang lapar. Dia bahkan belum sarapan. Banyak perubahan yang terjadi dalam hidupnya hingga dia sendiri tidak sadar kalau sejak tadi perutnya berteriak meminta perhatian.

"Aku tidak akan mengatakan apa pun dan melakukan apa pun. Jangan khawatir, jangan takut. Keluarlah."

Elias berpikir dia khawatir pria itu akan melakukan sesuatu? Elias harusnya tahu kalau Olivia lebih takut pada dirinya sendiri dibandingkan pria tersebut.

Dengan tekad bulat, Olivia akhirnya bergerak ke depan pintu. Dia meraih gagang pintu dengan penekanan pada dirinya kalau segalanya akan baik-baik saja.

Saat dia membuka pintu, Elias sudah tidak ada di depan pintu. Pria itu malah sedang duduk di kursinya dan menatap ke layar komputer yang menyala.

Mengamati dalam diam pria itu, Olivia berdiri diam di tempatnya.

"Apa yang kau lakukan di sana menatapku? Datangi makananmu dan makanlah."

Olivia mengerjap. Pandangannya masih ada di Elias dan yakin pria itu tidak membalas pandangannya. Seharusnya Elias tidak tahu dia sedang ditatap. Tapi sepertinya pria itu memang memiliki seribu mata.

Langkah pelan, Olivia segera menghampiri meja yang terbuat dari kayu mahal tersebut. Dia duduk di sofa dan menatap makanannya dengan rasa lapar yang tinggi. Olivia melirik Elias kemudian saat dia masih dengan agak ragu ingin mengambil makanannya. "Kau tidak makan juga?"

Elias menatap sebentar dan kembali memandang layar komputernya. "Aku tidak mau kau terganggu olehku."

"Aku tidak ...."

Suara pintu yang terbuka menghentikan suara Olivia. Pintu itu diketuk pelan awalnya dan tanpa menunggu suara pemilik ruangan, pintu segera dibuka.

Menatap ke belakang, Olivia segera menemukan Paul yang baru saja masuk. Dia memandang ke arah ayahnya dan memberikan anggukan sopannya. "Ayah," sapanya.

"Kau sudah datang," timpal Elias tanpa menatap ke arah Paul. Sama sekali tidak peduli pada putranya itu.

"Rupert mengatakan kalau kau membawa Olivia ke perusahaan. Jadi aku datang menjemputnya."

"Dia sedang makan di sana. Kau bisa menemaninya dulu makan baru kalian pergi mengurus perceraiannya."

Tapi sebelum Paul mengambil keputusan, Olivia sudah lebih dulu meletakkan sendoknya. Membuat dua pria itu memandangnya.

"Aku akan pergi dengan Paul. Kami permisi. Dan terima kasih makanannya, Elias." Olivia melangkah pergi lebih seperti melarikan diri.

Paul menatap Olivia dan hendak menyuruhnya tinggal menghabiskan makanannya. Bagaimana pun juga ini pertama kalinya ayahnya mau dia berlama-lama di ruangannya. Ini kesempatan mereka lebih dekat.

Tapi Olivia sudah menarik lengan Paul dan membawanya pergi. Dengan enggan Paul mengikuti langkah Olivia.

Sedangkan Elias yang melihat itu semua memiliki kekesalan tanpa alasan. Pria itu sendiri segera berhenti berpura-pura sibuk. Elias menekan interkom yang ada di mejanya. Memanggil Rupert.

Beberapa saat Rupert sudah muncul dengan tergesa-gesa. Karena beberapa saat tadi, ketika Elias meminta makanan diantar ke ruangannya, emosi bosnya itu sedang tidak baik. Rupert tidak mau mendapatkan lebih banyak bintang buruk di mata bosnya.

Tapi saat dia masuk sekarang, hawa ruangan seperti ada yang menyalakan tungku pembakaran. Dengan emosi yang meluap dan menyala, mata itu tetap menatap dengan dingin dan menenggelamkan.

Mengedarkan pandangannya, Rupert tidak menemukan Olivia dan Paul. "Mereka sudah pergi?"

Mata Elias menatap dengan tajam. Tatapan elang itu menatap Rupert seperti Rupert adalah seekor tikus kecil. "Kau tahu dia datang dan tidak mengatakan padaku?"

"Dia hanya mampir sebentar ke ruanganku dan menanyakan keberadaan Olivia. Aku memberitahunya di ruanganmu dan dia segera beranjak pergi. Aku tidak sempat mengatakannya, karena beberapa urusan yang harus diselesaikan."

"Kejar dan ikuti mereka. Pastikan mereka benar-benar bercerai."

Rupert tadinya mau menanyakan kenapa dia harus melakukannya. Tapi dengan kecamuk badai di mata elang si bos, lebih baik mengambil jalan aman. Jangan sampai dia menjadi korban atas kemarahan yang tidak tertuju ke arahnya.

Bosnya jelas sudah gila. Dia sepertinya cemburu pada si suami perempuan yang di mana suaminya adalah anaknya sendiri. Rupert hanya bisa menggelengkan kepalanya.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Di Ranjang Mantan Mertua (RAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang