11

535 67 1
                                    

Elias kemudian beranjak pergi dan keluar dari ruangan itu. Dia tampak santai dalam gerakan luwesnya. Tapi Olivia tetap khawatir kalau dia akan mendatangkan masalah untuk Elias.

"Apa menurutmu, aku membuat ayahmu berada dalam masalah?" tanya Olivia yang membuyarkan lamunan Paul.

"Hah? Kurasa tidak. Ayah pasti bisa mengatasinya."

"Semoga iya."

"Ibuku mematai-matai ayahku?" tanya Paul. Pertanyaan itu lebih tertuju ke dirinya sendiri.

"Kau tidak tahu? Ibumu mematai-matai kita semua."

"Apa? Kau serius? Kau juga?"

"Ya. Selalu ada yang mengikuti kami." Tapi di malam perceraian itu sepertinya tidak ada yang mengikutinya. Karena kalau sampai dia dibuntuti malam itu maka Hannah akan tahu soal apa yang dia lakukan bersama Elias. Dan jelas jika dia tahu, segalanya tidak akan sesederhana panggilan telepon.

"Aku tidak tahu, mereka tidak mengatakannya. Kapan kira-kira ayahku tahu?"

"Tidak dapat ditebak, mungkin sangat awal."

"Aku selalu ingin mereka akur dan bersama seperti dulu, tapi sepertinya akan sangat mustahil dengan kelakukan ibuku. Aku bahkan akan takut pada ibuku jika dia menjadi istriku."

Olivia tidak yakin ada saat di mana hubungan Elias dan Hannah akur. Karena mereka tampaknya tidak memiliki sesuatu yang bisa disebut sebagai percikan cinta. Tapi Paul selalu memiliki keyakinan bahwa pernikahan orangtuanya berdasarkan cinta, waktulah yang membuat hubungan itu menjadi dingin dan penuh permusuhan.

Olivia mendengar penuturan Paul soal hubungan orangtuanya yang sangat dia yakini, hanya memberikan tanggapan ya tanpa memasukkan keyakinan ke dalamnya. Dia tidak mau membuat Paul semakin hancur dengan praduga yang mungkin saja salah.

"Bagaimana cara membuat keluarga tetap utuh dan tidak seperti ini?"

Dengan suara yang begitu sendu, perkataan mengusik Olivia. Dia melewati tangannya di atas meja dan memegang punggung tangan Paul. Memberikan sokongan lewat sentuhan tersebut. "Waktu akan menjawabnya. Jangan terlalu membebani pikiranmu dengan semua itu."

"Mungkinkah sudah saatnya menerima kenyataan kalau mereka memang tidak seharusnya bersama lagi? Aku akan bicara dengan ibuku."

"Menurutmu ibumu akan melepaskan Elias?"

Paul diam. Dia nampak ragunya. Siapa di antara mereka yang tidak tahu betapa keras kepalanya Hannah. Seolah dunia harus mengikuti kemauannya.

Suara deheman menyadarkan keduanya dari pandangan mereka pada satu sama lain. Wajah Elias tampak buruk sekarang. Seolah ada sesuatu yang sangat menyinggungnya. Olivia berpikir mungkin perkataan Hannah.

Tanpa Olivia sadari kalau Elias terus menatap ke arah tangan bertaut tersebut.

Paul yang melepaskan pegangan Olivia karena dia sudah berdiri memandang ayahnya dengan penasaran. "Apa yang dikatakan ibu, Ayah."

"Seperti biasa, marah dan merasa aku melakukan kesalahan. Dialah yang benar."

Paul menipiskan bibir dalam kesedihan.

"Ayah, aku ...."

Elias berdiri, menyerahkan ponsel itu pada Paul. "Pulanglah, dia membutuhkanmu. Kudengar ada suara barang yang dihancurkan. Rumah mungkin sudah seperti kapal pecah sekarang. Kembali dan tenangkan ibumu."

Paul menatap Olivia. Mendapatkan anggukan dari gadis itu, Paul segera mengangguk dan berlari pergi.

Olivia mendesah dan kemudian menatap makanan yang baru saja datang. Mereka bahkan belum makan bersama tapi Paul harus meninggalkan mereka.

"Kenapa? Sedih karena dia pergi?" Elias bertanya setelah duduk di sisi Olivia.

Melirik pria itu, Olivia melengos. Dia mengambil makanan untuk dirinya sendiri.

Tapi piring kosong lain tersodorkan ke depannya. "Ambilkan untukku juga."

Olivia menurut dan mengambilkan beberapa makanan kesukaan Elias. Dia kemudian menyerahkan kembali piring ke depan Elias dan memberikan pria itu sendok dan garpu. "Makan yang banyak. Kau akan menghadapi Hannah malam ini."

"Siapa yang bilang aku akan menghadapinya?"

Olivia yang mendengarnya menatap dengan bingung, lalu ingat Elias memiliki rumah lain yang sepertinya hanya diketahui orang-orang tertentu. "Kau tidak akan pulang?"

"Tidak. Paul akan mengurusnya."

Anggukan Olivia menghentikan percakapan mereka. Keduanya sibuk menghabiskan makanan mereka.

Setelah beberapa menit, mereka selesai makan dengan Elias yang menyerahkan tisu pada Olivia. Ini pertama kalinya sepertinya mereka makan berdua saja. Tidak ada aturan dan tidak ada kenyamanan. Elias bersikap santai dan tenang, layaknya makan dengan orang pada umumnya.

Karena kalau Olivia makan dengan Hannah, akan terlalu banyak aturan di depannya. Dia sudah kenyang lebih dulu sebelum bisa memakan satu suap makanan di depannya. Apalagi saat Hannah harus berdoa terlebih dahulu sebelum makan, doa itu sangat panjang dan membuat perut melilit.

Jika ada makan malam keluarga di mana Elias diharuskan hadir dan tidak boleh menolak, pria itu akan selalu makan lebih dulu. Saat Hannah menegurnya, dengan santai Elias akan mengatakan, cacing dalam perutnya sudah berdoa untuknya.

Dan pada akhirnya Hannah tidak dapat memberikan teguran karena tidak ada kemenangan melawan Elias. Yang bisa dilakukan Hannah hanya bercerai untuk mengakhiri pertengkaran. Tapi dalam kamus Hannah jelas tidak memiliki perceraian. Jadilah tidak ada cara melawan Elias.

Karena bahkan meski Hannah memiliki segalanya, dia tidak akan pernah menjangkau kepatuhan Elias. Bahkan sepertinya tidak ada cara mengancam Elias. Karena Elias tidak memiliki sesuatu apa pun yang berharga untuk dibuat sebagai ancaman.

"Paul tidak tahu soal Hannah yang memata-matai kita," ungkap Olivia.

"Kau tahu?"

"Ya. Aku diikuti terang-terangan, tahu aku tidak akan bisa melawannya. Jadi dia bahkan mengatakannya padaku. Soal kau yang juga di mata-matai, dia mengatakannya."

"Lalu apa tanggapanmu?"

"Cukup menakutkan."

"Dia tidak pernah tidak menakutkan, wanita jalang sepertinya ...." Elias menatap Olivia yang kehilangan rona wajahnya ketika mendengar bagaimana Elias menyebut wanita itu.

Elias segera tersenyum dan mengusap kepala Olivia, memberikan tepukan lembut di sana.

"Maaf, anak kecil seharusnya tidak mendengar kata-kata kasar seperti itu."

Olivia menepis tangan Elias. "Aku bukan anak kecil." Gadis itu segera bangkit dan beranjak pergi. Tidak mengatakan apa pun karena dia sibuk meredam degup keras jantungnya.

Senyuman Elias mengiringi langkah kepergian Olivia.

Tidak lama mereka berkumpul di parkiran restoran, sopir Elias sudah menunggu yang membuat Olivia tidak yakin di mana sopir itu berada tadi.

Pintu sudah dibuka dan Olivia tidak langsung masuk, dia berbalik dan menemukan Elias yang bergerak ke arahnya. Setelah Elias berdiri di depannya, Olivia segera mengungkapkan pemikirannya. "Sebaiknya aku naik taksi saja."

"Kenapa? Tidak nyaman di mobilku?"

"Bukan seperti itu, kalau sampai ayahku melihat aku bersamamu lagi, Hannah akan semakin murka karena Hannah pasti meminta ayahku melaporkan padanya. Juga, dengan mata-mata yang ada, sepertinya untuk sekarang kau sudah cukup membantu. Aku tidak ingin mendatangkan masalah lebih banyak padamu."

Elias menunduk sedikit mensejajarkan wajah mereka. "Kau peduli padaku?"

Olivia yang mendengarnya mengerjap. Dia mendorong Elias menjauh. "Apa yang kau katakan? Mundur!"

Elias menyeringai senang menggoda gadis itu. Dia kemudian memaksa Olivia tetap di antar olehnya dan Olivia tidak memiliki alasan lain lagi selain ikut pergi.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Di Ranjang Mantan Mertua (RAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang