1

2K 117 4
                                    

Olivia Jansen merasa begitu buruk. Dia menyibak selimut dan merasakan perih di antara pahanya. Sepertinya ada sesuatu yang salah dalam tidurnya. Dia tidak yakin apa yang terjadi semalam, tapi yang dia ingat hanya perkataannya di malam pesta yang diadakan ibu mertuanya.

Ah, mantan ibu mertua, mungkin dia bisa menyebutnya demikian. Karena jelas dia tadi malam mengakhiri pernikahannya yang sudah coba dia pertahankan bertahun-tahun lamanya.

Seolah mendapatkan keberanian entah dari mana, gadis pendiam dan lebih banyak bergetar sepertinya malah mendentingkan sendok ke gelas. Membuat semua pandangan mengarah padanya dan memberikan tatapan tidak yakin.

Untuk pertama kalinya, menantu dari kelurga Holmes berani tampil dalam pandangan semua orang. Mereka semua tidak banyak yang mengenalnya karena Olivia lebih banyak mengambil tempat di sudut dan menghindari keramaian.

Awalnya saat dia masuk keluarga Holmes, ibu mertuanya sudah beberapa mengenalkannya pada beberapa tetua dan orang-orang penting. Hanya untuk sedikit membanggakan pilihan anaknya. Di mana jelas sekali kalau Olivia dan suaminya sama sekali tidak memiliki cinta di dalamnya.

Mereka menikah atas kemauan orangtua mereka. Dan pada akhirnya pernikahan itu menjadi dingin adanya. Dia bisa menunggu suaminya pulang ke rumah tapi setelahnya mereka hanya akan masuk ke kamar dan tidur dengan saling membelakanginya.

Menikah selama hampir 3 tahun bahkan pria itu tidak pernah menyentuhnya. Olivia awalnya berpikir kalau Paul, suaminya tidak menerima pernikahan karena mencintai wanita lain. Tapi selama hampir bertahun-tahun menikah, tidak pernah sekali pun Paul mengangkat pandangannya ke arah wanita lain. Bahkan disentuh oleh wanita juga dia enggan. Dia seolah menjadi pribadi yang begitu setia.

Tentu tanpa mereka tahu kalau bahkan istrinya saja tidak dia izinkan menyentuhnya.

Yang tinggal bersama mereka juga sama. Tidak ada yang tahu bagaimana pernikahan dingin mereka tersebut berjalan. Karena bahkan setiap waktunya, sang ibu mertua akan menceramahinya soal menjadi wanita yang sempurna adalah dengan hamil.

Setiap hari dia akan ditanya apakah Olivia sudah melakukan tes kehamilan. Itu hampir terdengar membosankan bagi Olivia.

Dengan penuh percaya diri, Olivia akhirnya tampil di depan khayalak ramai, mengumumkan perceraiannya dengan Paul Holmes.

Awalnya dia berpikir Paul akan melarangnya, mencegahnya atau bahkan memarahinya. Jelas alasannya bukan karena pria itu akhirnya sadar mencintai Olivia. Tapi karena tameng yang selalu ada di sisinya akhirnya memutuskan pergi meninggalkan. Dia sudah berpikiran buruk kalau Paul akan membuat masalah dengannya.

Tapi saat pria itu berdiri di sisinya dan tampil bersamanya, mengatakan kalau itu keputusan kedua belah pihak. Untuk pertama kalinya Olivia menemukan kalau dia dan Paul sepertinya memang menginginkan hal yang sama. Bahwa selama ini mereka sama-sama tersiksa dengan perbuatan orangtua mereka.

Bahkan saat Olivia selesai dengan orasi perceraiannya, Paul memberikan anggukan bangga padanya, dukungan pria itu sepenuh hati dan dalam pandangan dalam itu, Olivia dapat mendengar kata, "terima kasih."

Olivia mendesah dengan lega melihatnya. Dukungan penuh yang diberikan Paul memberikannya kekuataan.

Tapi jelas berbeda dengan keluarganya dan keluarga Paul. Mereka yang terkejut memberikan pandangan dendam kesumat padanya. Segalanya belum selesai, itu yang mereka kumandangkan.

Olivia yang tidak mau kembali ke rumah keluarga Holmes karena tahu hanya akan menemukan pandangan benci ibu mertuanya melipir ke bar dan masuk ke dalamnya untuk pertama kalinya.

Membawa langkah beraninya, Olivia memesan sebotol martini dan segera menarik langkahnya ke sudut. Menghabiskan isi botol dengan sepenuh hati.

Dan dia tidak ingat apa pun kemudian.

Olivia menjambak rambutnya sendiri, berusaha mengatakan pada dirinya untuk mengingat, sayangnya, semakin dia mencoba, semakin resah perasaannya. Seolah ada sesuatu yang tidak seharusnya dia ingat. Otaknya memberikan peringatan dan hatinya memberikan larangan.

Dengan kedua tangan mendekap tubuhnya yang resah, Olivia menyadari sesuatu. Tidak ada kain apa pun dibalik selimut tipis yang dia kenakan. Dia berusaha meraba sampai ke bawah dan kain tipis itu mengatakan kalau dia sama sekali tidak mengenakan bra dan celana dalamnya.

Wajah Olivia memudar warnanya. Apa yang sudah dia lakukan?

Mengangkat pandangannya, Olivia berusaha menemukan di mana dia berada. Dia mencari sampai pandangannya jatuh ke bawah di mana ada sepasang kaki di sana dengan selimut yang sudah tertarik ke atas. Menunjukkan kaki dan betis yang kokoh.

Napas Olivia memendek. Seolah sesuatu merenggut jantungnya.

Akan bagus jika kaki itu milik suaminya. Tapi siapa yang hendak dia tipu. Suaminya tidak tertarik pada wanita. Tubuh wanita bagi sebuah kutukan untukku. Dia membencinya. Lekuk tubuh mereka tidak membuatnya tergoda dan mengeras. Pria itu penyuka sesama jenis. Jadi mana mungkin suaminya yang menjadi pemilik kaki tersebut.

Dengan wajah tegang, Olivia mengangkat pandangan. Perlahan dan terus memelan sampai dia menemukan dada bidang yang naik-turun dengan lembut.

Olivia melihat kalung hitam dengan peluru perak sebagai mata kalungnya. Olivia merasa dia pernah melihatnya. Entah di mana. Kalung itu tidak asing.

Dan jawaban segera datang padanya begitu dia menatap wajah sosok tersebut. Pria yang meletakkan tangan di dahinya itu mempertontonkan wajahnya dengan nyata.

Napas Olivia terenggut paksa. Dia membekap mulutnya sendiri karena takut dia akan berteriak dengan keras.

E-L-I-A-S

Nama itu tereja mengejek di kepalanya. Seolah sesuatu menghantam kewarasannya.

Begitu sadar kalau segalanya bukan mimpi, Olivia menyibak selimut. Menarik semua pakaiannya dan memakai pakaiannya dengan terburu-buru. Seolah ada yang mengejar gerakannya.

Matanya terus menatap awas pada pria itu. Seolah takut sewaktu-waktu ayah mertuanya itu akan bangun.

Ya. Yang berbaring di sisinya, yang merenggut keperawanannya adalah ayah mertuanya sendiri. Entah apa yang terjadi semalam, Olivia benar-benar tidak dapat menemukan kejadiannya di ingatannya.

Setelah semua pakaiannya terpasang, Olivia mengedarkan pandangannya, tidak mau ada barangnya yang tertinggal. Saat yakin tidak ada apa pun, Olivia segera berjalan ke arah pintu dengan agak sempoyongan karena efek minuman yang masih menguasai kepalanya.

Dia membuka pelan pintu dan kemudian berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Olivia masih bingung di mana dia berada. Jelas bukan hotel atau penginapan. Tempat ini malah seperti terlalu mewah untuk disewakan. Ada kehangatan yang ditawarkan tempat tersebut. Lebih seperti rumah pribadi.

Dengan gelengan pelan, Olivia bergegas melangkah. Dia sudah akan melewati pintu depan. Tapi dia mendengar suara pintu yang diputar kuncinya dan hendai dibuka.

Berlari ke sisi lain, Olivia menemukan pintu lain dan lewat sana. Dia kemudian menemukan kalau dia benar-benar berada di sebuah rumah yang bergaya klasik dengan ciri khas yang begitu kental. Dingin dan menenggelamkan. Seperti gaya pria itu dalam kesehariannya.

Olivia memegang kepalanya, apa yang sudah dia lakukan?

***

Ada juga di karyakarsa

Di Ranjang Mantan Mertua (RAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang