9

720 87 2
                                    

Paul segera melepaskan tangannya dari pegangan Olivia setelah mereka masuk ke lift. Pria itu menatap ke depan dengan wajah tidak puas. Tidak menyalahkan Olivia, hanya saja dia merasa gagal.

Melihat wajah sendu itu, Olivia segera menjenguk wajah pria itu. Dia mendesah. "Kau marah padaku karena aku menyeretmu?"

"Mana mungkin. Aku hanya merasa kalau aku bukan anak yang baik." Paul mendesah.

"Kau akan memiliki waktu dengannya. Bagaimana pun, dia ayahmu."

"Tidak akan lama. Di rumah hanya akan ada pertengkaran dengan ibu. Sementara di luar, dia menghindariku seperti aku adalah wabah. Menurutmu, apakah dia tahu soal orientasi seksualku? Mungkin itu yang membuat dia membenciku?"

"Bukankah kau sendiri yang bilang kalau dia membencimu bahkan mungkin sejak kau lahir?"

Paul mendesah. "Kau benar. Aku memang anak yang tidak diinginkan."

Olivia menepuk pelan pundak Paul. "Akan ada waktu. Malam ini kita juga akan bertemu dengannya."

"Apa katamu? Bertemu?"

Olivia menatap ragu. "Elias tidak memberitahumu?"

"Membeeritahu apa?"

"Dia mengundang kita makan malam. Bertiga. Mungkin kau menghibur karena kita berpisah."

"Sungguh?" kedua tangan Paul ada di pundak Olivia. Dia menekan dengan kencang. "Kau bersungguh-sungguh? Dia mengundang kita? Ayahku?"

"Ya. Mana mungkin aku berohong. Dia memang mengundang. Dia sepertinya meminta aku memberitahumu."

"Oh, baiklah. Terima kasih, Olivia. Terima kasih."

Olivia menepuk pundak Paul dengan pelan. Setidaknya mereka tidak dapat menjadi pasangan, tapi mereka bagus dalam berteman. Mereka baik dalam memberikan dukungan pada satu sama lain.

"Oh, ya, apa ayahmu memukulmu?"

"Hm?"

"Ayah bukan orang yang akan membawamu begitu saja tanpa alasan. Pasti ada yang terjadi. Aku memperkirakan ayahmu bertindak kejauhan."

"Begitulah. Tidak ada yang menyenangkan di rumah itu."

"Aku akan membelikanmu rumah. Sebagai hadiah perceraian. Karena sepertinya ibuku tidak akan menyerahkan hartanya, aku memiliki tabungan yang cukup untuk membeli rumah dengan studio lukis di sebelahnya. Kau menginginkannya?"

"Bukankah itu berlebihan?"

"Dengan kelakukanku padamu, dan apa yang aku sembunyikan, dan satu rumah kau masih mengganggapnya berlebihan? Tidak, Olivia. Aku malah merasa begitu kurang memberikan kompensasi atas banyak kerugian yang kusebabkan atasmu. Juga penyiksaan ibuku. Aku benar-benar bersalah padamu, Olivia."

"Apa yang kau katakan, bukankah kita sepakat tidak akan mengungkit masalalu? Aku tidak menyalahkanmu, mungkin hanya kecewa karena kau tidak mengatakannya lebih awal. Tapi selebihnya, tidak ada kesalahan."

"Baik, jika kau mau aku tidak menyalahkan diri lagi, terima rumahnya, ya?"

"Apa kau sedang menjebakku?"

Paul tersenyum. "Kau bisa mengatakan demikian."

Olivia memikirkannya dan mengangguk kemudian. Tidak ada salahnya mengambil rumah itu, lagian dia memang agak berhak di sana.

Paul menepuk pundak Olivia kemudian.

Mereka berangkat setelahnya dan menyelesaikan seluruh keperluan cerai mereka. Olivia hanya tahu pernikahannya dulu dia tidak ikut terlibat ke dalam. Dia hanya melakukan ritualnya saja. Masalah surat-surat jelas ayahnya tidak melibatkannya. Dia terima jadi.

Tapi saat perceraian karena mereka melakukannya sendiri, itu membuat sakit kepala. Lain kali kalau Olivia sungguh akan menikah lagi, dia akan mempertimbangkannya dengan lebih matang. Mungkin mempertimbangkan jika dengan pria ini, apakah dia akan bercerai.

Olivia mendesah dengan pemikirannya sendiri. Seolah dia akan tahu saja masa depan akan seperti apa.

Dia bisa membuat perjanjian untuk menikah tanpa perceraian. Tapi apa dia sanggup jika pada akhirnya dia akan menemukan laki-laki yang tidak setia padanya? Manusia berubah. Dia bisa mencintai seseorang detik ini, tapi kemudian dia bisa membencinya di detik selanjutnya.

Sore hampir malam, segalanya baru selesai diurus. Olivia dan Paul akhirnya keluar dari gedung itu dengan napas lega. Tiba di depan gedung, Paul berhenti. Dia menatap Olivia dengan dalam.

Olivia ikut berhenti, pandangannya membalas. "Kenapa?"

Paul melebarkan tangannya. "Ke sini."

"Hm?"

"Datang saja."

Dengan aneh Olivia mendekat dan akhirnya masuk ke pelukan pria itu. Dia merasakan tangan kokoh Paul memeluknya dengan erat. "Bahagialah mulai sekarang, Olivia. Aku orang yang paling menginginkan kau bahagia."

Olivia yang mendengarnya tersenyum. Dia membalas pelukan Paul dengan lebih erat. "Ini pertama kalinya kau memelukku karena kau memang ingin memelukku. Biasanya selalu ada sandiwara di dalamnya."

"Mulai sekarang tidak ada sandiwara. Hubunganku dan kau murni. Tanpa campur tangan orangtua kita."

Olivia mengangguk.

Suara klakson yang dibunyikan dengan sembarangan membuat keduanya segera berpisah dalam pelukan itu. Menatap ke bawah sana, Paul tersenyum saat melihat ayahnya di sana berdiri dengan tangan bersedekap dan tubuh bersandar di mobil. Menunggu mereka.

"Dia benar-benar datang," ucap Paul. Kebahagiaan terpancar nyata di wajah Paul. Dia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan tersebut.

Melihat itu mungkin hanya satu yang disesali Olivia, adalah tidak membuat jembatan untuk Paul dan ayahnya. Tapi hubungannya dengan Elias malah dekat saat dia dan Paul akhirnya berpisah. Awalnya Elias membangun benteng yang begitu tinggi, yang sulit digapai bahkan sulit ditatap.

"Aku tidak berbohong padamu, kan?"

Paul menatap Olivia dan segera menggangguk dengan bahagia. "Ayo." Paul meraih tangan Olivia dan bergegas membawanya turun. Berdiri di depan Elias yang menatap mereka, Paul tidak dapat menghentikan senyumannya. "Ayah?"

Elias melihat tangan bertaut itu dengan agak bingung. "Tidak jadi bererai?"

"Jadi, Ayah. Kami baru saja menyelesaikannya," ungkap Paul dengan penuh semangat. Karena dia tahu ayahnya mendukungnya dalam perceraian itu.

"Kalian tampak seperti pasangan yang baru saja menikah dan bukannya bercerai," ucap Elias dengan tatapan mata mengarah ke tangan bertaut itu.

Paul yang menyadarinya segera menarik tangannya melepaskan Olivia. Dia kemudian berdeham agak sedikit canggung. "Kami memutuskan berteman."

"Berteman bagus. Tapi mulailah bijak mengambil jarak. Jangan membuat orang lain salah paham. Ibumu akan merasa kau membohonginya."

Paul yang mendengar itu mengangguk dengan mengerti. "Aku akan berpikiran bijak lain kali."

"Olivia sudah mengatakan soal undangan makan malamnya?"

"Sudah, Ayah."

"Jalau begitu kita pergi sekarang." Elias berbalik kemudian dan segera membuka pintu mobilnya saat mendengar Paul bicara ....

"Aku dan Olivia akan memakai mobil sendiri, Ayah. Kau bisa pergi sendiri dan kami akan mengikutimu."

"Kau pakai mobil sendiri. Biarkan Olivia bersamaku."

"Huh?" Paul tampak bingung.

Olivia sendiri mengerut tidak yakin. Saat Paul menatapnya mempertanyakan kenapa ayahnya mau dia semobil dengannya, Olivia memberikan gelengan. Sama tidak mengertinya.

"Ada beberapa hal yang harus aku katakan padanya soal menghadapi ibumu. Karena hidupnya akan mulai sulit."

***

Ready Ebook di playstore
Bisa beli pdf di aku
Tamat di karyakarsa

Sampai jumpa mingdep 😘

Di Ranjang Mantan Mertua (RAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang