Chappter 10

42 11 0
                                    

Raut cemas tampak mendominasi wajah Airin. Tatapan khawatir tak terelakkan dari netra cokelatnya melihat bercak biru di wajah Karina. Siang tadi Airin memimpin meeting projek baru, mendadak ia mendapatkan panggilan dari sekolah. Meeting terpaksa diwakili oleh pak Darian dan dirinya berakhir di ruang kepala sekolah.

"Bagaimana bisa adik saya seperti ini?" cecar Airin lebih terlihat seperti menyudutkan guru BK yang duduk berhadapan. Di dalam ruangan ada tiga siswi bersama wali mereka dan pak kepala sekolah. Airin bergulir menatap tajam ketiga murid itu, pasti mereka yang merundung Karina!

Selaku guru BK, ia menyampaikan bagaimana kronologi kegemparan tadi yang sebelumnya telah disampaikan oleh ketua kelas. Para wali menyimak dengan air muka membatu. Teman sekelas Karina yang bernama Jessica mengaku kehilangan ponsel. Murid di kelas berinisiatif bantu mencari seraya salah seorang murid melaporkan kehilangan ponsel kepada guru. Ketika dicari bersama-sama, salah satu dari mereka bertiga mendapati ponsel Jessica berada di dalam tas ransel milik Karina. Tentu Karina mengelak dan tidak mengakui sementara Jessica yang kadung kesal spontan mendorong tubuh Karina kasar hingga mengenai ujung meja. Sakitnya bukan main!

Merasa sudah keterlaluan, Karina balas mendorong Jessica hingga jatuh terjungkal. Tanpa diduga kedua teman Jessica ikut membantu. Rambut Karina dijambak dan wajahnya ditampar, alih-alih membalas Karina hanya dapat menahan serangan mereka. Tiga lawan satu, meskipun kalah jumlah Karina masih berupaya membalas Jessica sekuatnya. Sementara menunggu guru tiba, murid perempuan hanya dapat menyaksikan tanpa berani melerai perkelahian. Takut jika harus berurusan dengan Jessica bersama ganknya. Sedangkan murid laki-laki bersorak berharap perkelahian semakin caos. Kapan lagi ada murid yang berani melawan Jessica!

Kepala sekolah menyuruh Karina meminta maaf, alih-alih menurut Karina justru membela diri. "Aku tidak mencuri, seseorang menaruh ponsel Jessica di dalam tasku."

"Pembohong! Memangnya ponsel itu bisa jalan sendiri ke dalam tasmu." provokasi Nyonya Jessica.

"Anak ibu juga tidak kalah hebat, mental pembully." Sahut Airin.

Nyonya Jessica terpana, sontak menghampiri lalu mencengkram kerah baju Airin. "Kurang ajar!"

Tidak balas menyahut Airin menatap tajam Nyonya Jessica seolah menantang tanpa rasa takut. Kepala sekolah sendiri nampak serba salah. Demi mengusai situasi, kepala sekolah menjelaskan akan mencabut beasiswa dan memberi skor kepada Karina. Karina tentunduk tanpa berani menatap raut wajah Airin. Ia sudah mengecewakan Airin, perasaan bersalah dan marah campur aduk menyelimuti benaknya.

"Apa ada bukti atau saksi mata yang melihat Karina mengambil ponsel Jessica?"

Guru BK menggeleng, tidak ada saksi mata bahwa Karina yang mencuri ponsel Jessica dan sangat kebetulan kamera cctv di kelas tengah rusak.

"Maaf pak." ujar Airin begitu tenang. "Saya yakin. Bapak selaku kepala sekolah sudah bertahun-tahun mencoba mempertahankan reputasi sekolah ini. Sangat disayangkan saya kecewa oleh keputusan pak kepala sekolah."

Karina menoleh kearah Airin. Pancaran ketegasannya begitu kuat dibanding kepala sekolah barusan. "Tanpa seorangpun saksi mata, Karina disalahkan karena ponsel Jessica ada di dalam tasnya tanpa mendalami kejadian lebih jauh, saya pikir itu tidak adil. Saya akan menuntut, dari hasil visum dan saksi mata murid di kelas bahwa adik saya mengalami perundungan. Bukan perihal sulit memberitakan masalah perundungan di sekolah elit. Sekiranya perlu dipikirkan kembali keputusan bapak."

"Ci..."

Suasana ruangan berubah menegang, kepala sekolah termenung sejenak lidahnya dibuat kelu. "Ibu mencoba mengancam saya?"

Airin menggeleng. "Saya memberi pilihan. Dalam masalah ini bukan hal sulit bagi Karina, ia bisa pindah sekolah dan masalah selesai tapi nama sekolah ini dipertaruhkan. Saya tunggu itikad baiknya sampai besok siang."

"Apaan-apaan, jelas-jelas adik kamu yang salah!" Sergah nyonya Jessica.

"Bukannya perkataan saya sudah cukup jelas bu. Pak kepala sekolah ada yang ingin ditanya?"

Terperanjat diantara pilihan sulit mepala sekolah diam bergeming, sementara itu Nyonya Jessica meradang dengan reaksi kepala sekolah. Airin segera pamit dan mohon diri keluar dari ruang kepala sekolah diikuti Karina dari belakang.

Sepanjang perjalanan Airin diam seribu bahasa dengan raut wajah sulit dibaca, tidak bertanya kembali atau penasaran bagaimana kejadian yang sebenarnya terjadi. Entah percaya atau tidak mau ambil pusing. Karina sendiri memilih ikut diam. Percuma membela diri, ponsel Jessica tetap ditemukan di dalam tasnya tetapi sungguh bukan ia pelakunya! Karina berani bersumpah, lagipula uang saku yang diberikan oleh Airin sudah lebih dari cukup. Ia mengerti mungkin Airin kecewa dan lelah. Tadi seusai keluar ruang kepala sekolahpun Airin sibuk ditelefon urusan kantor. Ditengah kesibukannya Airin masih harus mengurus masalah yang diperbuat kedua adiknya.

"Mau kedokter?" Tanya Airin tiba-tiba.

Karina menoleh menatap Airin yang fokus menyetir. "Ngga perlu ci, dikasih saleb udah cukup."

"Kita pulang ya."

Suasana kembali hening hingga setibanya di rumah. Bi Sri membukakan pintu, begitu melihat wajah Karina spontan ia cemas dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Karina mencoba menenangkan bi Sri dan menjelaskan ia baik-baik saja, sementara itu Airin menarik napas panjang. Ia melengos menghampiri tangga dan masuk ke dalam kamar.

Karina yang risau dengan sikap Airin ikut menyusul ke lantai dua, ia mengetuk pintu kamar Airin yang kebetulan belum ditutup sempurna. Mendapati Airin berdiri di depan meja kerja seraya mengambil beberapa obat dari dalam laci meja. "Cici sakit?"

"Agak sesek aja tumben."

"Mau kedokter? Biar aku kabarin kak Bian."

"Jangan nanti Bian malah khawatir."

Mengapa perlu disembunyikan? Tidak salah membuat Bian khawatir toh dia memang suaminya dan harus tahu bagaimana kondisi Airin. Sulit dipungkiri belakangan ini Airin terlihat lebih sibuk. Biasa di rumah jarang melanjutkan pekerjaan kini nyaris setiap pulang kantor masih fokus berkutat dengan laptop sampai larut malam, mungkin itu penyebab kesehatan Airin sedikit menurun. Karina bukan acuh, ia enggan ikut campur rumah tangga kakaknya terlebih ada Bian. Ia mengenal sekali bagaimana kakak iparnya, amat sangat perhatian!

Dengan perasaan tidak enak Karina mengangguk. Meskipun ingin sekali memberitahu, Karina tidak mau mengalanggar hak pribadi kakaknya. Jangan-jangan Airin menyimpan rapat-rapat setiap persoalan seorang diri selam ini. Karina merasa marah dengan dirinya. Ia justru ikut menambah masalah, kiranya tadi Airin akan marah minimal menggerutu kecewa setidaknya itu bisa mengurangi sedikit perasaan bersalahnya. Wanita yang kini berdiri dihadapannya seperti bukan Airin yang dulu Karina kenal, lebih frontal dan berani.

"Kamu ngga ganti baju dulu?" Airin bertanya menyadari Karina yang diam termenung.

"Nanti aku ganti, mau aku kuambil air hangat ci?"

"Aku ambil sendiri aja. Kamu yakin ngga mau periksa kedokter?"

"Aku gapapa. Cici harusnya lebih mencemaskan diri sendiri."

Sejenak Airin bergeming. Tersenyum pahit, seperti sudah lama tidak ada orang yang mencemaskan dirinya selain Bian. "Udah biasa, nanti juga sembuh habis minum obat."

"Ci."

"Ya?"

"Aku cuma punya cici."

Air mata Airin nyaris lolos, terpaksa ditahan perasaannya, Karina tidak boleh melihat sisi rapuhnya. Bukan ingin terlihat tegar, mereka melewati masa sulit yang sama semenjak kepergian ibu dan ayah yang mendekam di balik jeruji. Air matanya hanya akan menambah Karina cemas.

#to be continue#

Hi gessss.
Draft tulisan w dah habis 😂 sisa 1 itu baru separo ditulis.
Hrs semangat ni hahahahahah
Makasih orang yang baiq hati dah ngasih vote!!!!

Elegi biru | BaekReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang