Chappter 6

30 8 0
                                    

"Loh bu kenapa? Habis jatuh?" Bi Sri tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya sekaligus khawatir sewaktu mendapati Airin di rumah dengan plester di pelipisnya.

"Jatuh dari motor, bi." sahut Airin sekenanya dan mempersilahkan bi Sri masuk.

"Ada yang sakit bu? Mau saya pijit?"

"Ngga perlu, makasih bi."

Mendadak bi Sri terdiam, otaknya yang sederhana tersadar. "Kemarin bukannya ibu bawa mobil?"

"Bi tolong bangunin Giana." Airin mengubah topik takut kebohongannya mulai terendus dan frustasi membuat Giana peka, mudah sekali tersinggung terutama denganya.

"Baik bu."

***

Pintu kamar Airin diketuk. Ia dapat menebak siapa orang dibalik pintu. "Masuk bi."

Setelah membangunkan Giana, Bi Sri membuatkan kopi sesuai permintaan Airin sebelum kembali kekamarnya. Ditaruh secangkir kopi di atas meja nakas persis di sebelah ranjang.

"Saya kira bapak di kamar." Komentar bi Sri yang mendapati Airin seorang diri di kamar duduk di atas ranjang ditemani sebuah buku.

"Lagi diluar ngurus event musik."

Entah sudah berapa tahun bi Sri bekerja kepada Airin membuatnya masih ingat betul tata letak barang kamar majikannya sebelum menikah. Rapi dan minimalis. Tumpukan buku rapi tersusun di dalam rak dan pada dinding hanya terpajang foto keluarga, tidak banyak barang perintilan kecil. Kini justru barang-barang milik Bian yang lebih memenuhi isi kamar Airin.

"Maaf, bu." Katanya antara takut dan ragu. "Jangan marah ya. Saya pikir dulu bapak belum dewasa, masih bocah. Ternyata ngga sepenuhnya betul."

"Bagaimana, bi?"

"Bapak rajin. Kadang bantu saya di dapur, katanya mau belajar masak. Taman depan bapak juga yang ngerapihin. Pantas ibu suka sama bapak."

Airin tersenyum malu, selama ini Bian selalu berupaya apapun untuknya, menerima Airin seperti apa adanya. Tidak pernah menuntut lebih. Misal beberapa waktu lalu dirinya sempat mengeluh taman depan yang tidak terurus padahal cukup untuk mengurangi kepenatan terlebih Airin biasa ngopi santai di atas balkon sambil memandangi taman di bawah. Tidak bermaksud meminta Bian yang melakukannya, namun tanpa diminta Bian membuat taman depan terlihat lebih hidup.

Seketika luntur senyum Airin teringat waktu makan siang bersama pak Haris beberapa hari lalu. Rasa bersalah melanda, sejujurnya bekal yang Bian antar ia berikan pada salah seorang petugas kebersihan di kantor. Hari itu entah mengapa ia tidak begitu nafsu makan. Kalau tahu Bian pasti kecewa, susah payah suaminya belajar masak demi membuatkan bekal spesial untuknya, ah pasti dibuat dengan cinta. Tentu semua ucapan Airin sebelumnya hanya karangan bagaimana enaknya bekal buatan Bian.

Cleck!

Sekonyong-konyong Bian masuk kedalam kamar, bi Sri yang melihat Bian masuk lantas mohon diri keluar kamar. "Kamu izin kekantor sakit apa?"

"Sesuai surat dokter."

"Haris kirim ini." Diangkat parsel buah kedepan Airin takut-takut tidak dilihat. Tertulis note "Semoga lekas sembuh, Haris". Baru juga sehari izin kantor, kalau seminggu dikirim apa? Toko?

Airin mendesah. "Aku harus apa? Dibuang?"

"Jangan kamu makan. Kasih bi Sri aja." Balas Bian sengit.

"Kamu sudah makan, Bian?"

"Belum." Diajak bicara Bian malah melengos turun kebawah dengan membawa parsel buah dan terpaksa Airin ikut turun mengejarnya dari belakang. Bian duduk di sofa ruang tamu dan menaruh parselnya di atas meja.

"Aku ambilkan makan ya."

"Ngga perlu."

"Mau aku kupasin apelnya?"

"Ngga mau." Bian acuh. Dinyalakan telivisi dan sengaja dibesarkan volume suaranya. Dia tahu Airin tidak menyukainya. Dia selalu merasa terganggu.

Airin mengeluh panjang. Beginikah resiko menikah dengan seorang pemuda yang mentalnya belum siap menjadi seorang suami? Mudah sekali cemburu, mudah tersinggung dan reaksinya seperti anak-anak pula. Lagipula bukan ia yang minta dikirim parsel. Apa salahnya juga dikirim parsel?

Walaupun jengah dengan reaksi Bian yang berlebihan. Airin mencoba berkaca, ia sendiri merasa belum menjadi istri yang baik. Memang Airin tidak pernah mencela atau mengeluh tentang kesukaan atau hobi suaminya, bukan berarti ia menerima. Sebatas malas berdebat. Selama ini Airin mungkin selalu sibuk dengan pekerjaannya, kurang peka dan jarang mengungkapkan isi hatinya. Siapapun memiliki kekurangan, tidak ada yang sempurna. Begitupun Bian.

Rencananya Airin membuat roti bakar selai strawberry kesukaan suaminya, siapa tahu bisa meredakan kecemburuan Bian. Ia akan membujuknya, tidak ingin menunda persoalan sekecil apapun. Waktu Airin hendak ke dapur, ia mendapati Karina yang baru pulang dari sekolah duduk di sofa tengah melepas sepatu. "Karina mau roti panggang?"

"Boleh ci." Jawabnya tanpa menatap Airin berjalan menuju kamarnya.

"Ada masalah di sekolah?"

"Engga kok ci, kenapa?"

"Gapapa. Kamu istirahat dulu aja. Kalau mau cerita, aku siap dengerin."

"Thanks ci."

Dengan hati-hati dibawanya nampan itu ke kamarnya di tingkat dua. Perlahan-lahan Airin membuka pintu kamar. Di balkon Bian tengah duduk  sembari bermain game. Ia tak bergeming ketika Airin meletakan sepiring roti di atas meja, tetap fokus dengan ponselnya. "Bian, ini roti bakar."


Tidak ada jawaban. Airin sabar menunggu Bian menyelesaikan gamenya. Dia tahu Bian akan menggerutu jika diajak berbicara waktu game belum berakhir, suaminya memang selalu seperti itu. Persis anak-anak. Airin tidak akan menggangu selama Bian bermain game, memberinya waktu sendiri. Sementara menunggu, Airin mengupas apel. Apel yang dibelinya pekan lalu ketika belanja bulanan, tentu bukan dari parsel pak Haris, seisi rumah bisa kembali heboh.

Airin boleh cakap dalam perkejaan namun tidak dengan peralatan dapur. Ia jarang sekali memasak kecuali Bian merajuk ingin makan masakan buatannya, padahal rasa masakannya tidak lebih baik dari masakan buatan bi Sri. Sedikit kaku Airin mengupas kulit apel dengan berhati-hati.

"Ah!"

Ujung jari telunjuk Airin terkena pisau,  keluar sedikit darah. Ia masuk ke dalam kamar mengambil kotak P3K.

"Lain kali hati-hati." Ujar Bian tiba-tiba sudah di dalam kamar, gamenya selesai selesai?

"Luka kecil aja." Airin duduk di tepi ranjang seraya membuka bungkusan plaster.

"Coba aku lihat." Bian menyorongkan telapak tangannya pada Airin.

Merasa geli, Airin mengulurkan jari telunjuk bukan ke telapak tangan Bian melainkan mencolek pipinya dengan jari telunjuk. "Khawatir banget." Gemas Airin.

"Jangan colek-colek, mana jari kamu." Ujar Bian masih dengan wajah cemberut.

Tatkala Bian meniup-niup ujung jarinya seolah itu dapat menyembuhkan luka di telunjuknya, Airin tersenyum kecil. Ditempel plaster itu pada ujung jarinya. "Aku ngga suka kamu deket-deket Haris."

"Hubunganku sebatas atasan dan bawahan. Cuma kamu yang bisa bikin aku gelisah karena ngga diajak bicara."

"Iyaa."

Dicubit gemas pipi suaminya. "Gemasnya aku. Ngga ada laki-laki segemas kamu Bi."

"Masa?"

"Kamu ngga percaya? Sini." Ditepuk tepuk kedua pahanya mengisyaratkan agar Bian tidur dipangkuannya.

Surainya diusap-usap begitu lembut seraya memandangi sisi wajah Bian dari atas. "Bian."

Bian bergumam menanggapinya.

"Kalau suatu saat nanti kamu benci sama aku, kita bertengkar atau bagaimanapun kita nanti. Kamu harus tahu aku bahagia bersama kamu, cause i already love you fulles." Airin menunduk dalam-dalam dan dikecup mata suaminya dengan lembut.

#to be continued#

Makasih gaes yg udh vote komen 😁

Elegi biru | BaekReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang